Polemik Sastra Riau: Kedunguan Penulis dalam Festival

Penulis: RIAN KURNIAWAN HARAHAP

SASTRA seharusnya menjadi ruang kreasi yang mengasah akal budi. Namun, apa jadinya jika sastra berubah menjadi ruang untuk membuat orang-orang masuk dalam labirin kedunguan. Istilah ” Dungu” yang kerap diucapkan oleh Rocky Gerung sebagai semiotika atas kebodohan yang dilakukan terus dan berulang-ulang sudah tepat untuk membungkus polemik sastra Riau hari ini. Sastra kita miskin kritik, merasa paling benar di antara yang telah purna kebenarannya.

Polemik ini tidak serta merta muncul tanpa sebab. Pengaduan penulis-penulis yang dikecoh lewat juknis yang aneh dan tidak biasa sebagaimana lomba, menjadi titik penting untuk digarisbawahi. Polemik ini bukan untuk berlatah-latah, atau meniru polemik manikebu-lekra atau polemik puisi esai. Polemik ini menjadi ruang untuk menyadarkan orang-orang yang khilaf dalam sastra Riau.

Tulisan ini adalah respon saya sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Pekanbaru yang punya kewajiban menjadi pamong dan pengayom atas keberlangsungan sastra di Kota Pekanbaru hari ini. Pekanbaru sebagai rumah dan episentrum bergeraknya kebudayaan Melayu Riau mesti hidup dengan karya sastra yang dijulang tinggi. Kualitas karya yang baik tentunya hadir dari ruang yang dibuka bebas. Keran sastra mesti dibuka lewat festival, lomba atau lokakarya baik dari keluarga, sekolah maupun stakeholder yang berkaitkelindan demi kemajuan sastra Pekanbaru khususnya dan Riau pada umumnya. Namun, apabila keberlangsungan itu dikurung dalam kerangkeng “kedunguan”, dimana penulis yang berhak mengikuti ruang publik, karyanya berhak diulas dan diapresiasi, justru termaktub dalam kehilangan kerya atau nyatanya dalam ruang tembak kedap suara.

Penulis punya hak untuk ikut apapun saja lomba sesuai dengan juknis yang telah dibuat penyelenggara. Mereka yang ikut dalam festival ini juga bukan setahun dua tahun membangun branding sebagai penulis, namun mereka telah memenangkan lomba baik tingkat lokal maupun nasional. Justru penyelenggaraan festival ini mestinya digadang-gadang sebagai ruang bertemu karya, berjumpa kata, bersahut makna. Namun, kenyataannya festival ini menjadi ruang bagi penulis-penulis andal di Riau memainkan peran dalam lakon Waiting For Godot. Menunggu sesuatu yang tidak pasti datangnya dan mereka dalam kondisi “Dungu”.

Penulis-penulis ini adalah orang dungu yang sedang menunggu kapan kapal kedunguan akan menjemput. Lalu mereka akan dibawa ke sebuah pulau yang telah dijanjikan dan mendapat hadiah karena telah mau menunggu lama barang setahun atau dua tahun atas dasar kesetiaan. Penulis yang mengadu kepada saya bukan satu atau dua orang, tapi belasan dengan puluhan karya. Ini menjadi sebuah preseden buruk sastra Riau hari ini. Dimana dalam esai saya sebelumnya yang dimuat di Riau Pos tentang “Festival Sastra: Merawat Keberlangsungan dan Regenerasi Sastra Riau” sepertinya berlalu menjadi kabar angin tanpa ada yang menjadikannya ruang berpikir dan menganalisa.

Penulis tugasnya telah purna setelah karya ditulis. Ia telah mati dan hidup dalam tulisannya, sementara mereka yang menggantungkan harapannya pada festival atau lomba harus menelan pil pahit ketika karya itu tak juga masuk dalam pilihan untuk dibaca. Saya garis bawahi hanya untuk dibaca dewan juri bukan hal lain. Sebagai seorang yang membayar pajak dengan taat setiap bulan, pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, pajak makanan, pajak bumi bangunan saya merasa berhak mengikuti apapun event yang dibuat atas dasar uang pajak yang saya bayarkan. Festival seharusnya menjunjung tinggi sila-sila dalam pancasila. Ketersediaan karya dan pembacaan tidak dipilih atas dasar sentimen positif atau negatif dan kedekatan kekerabatan.

Saya mengasihani teman-teman penulis yang telah menjadi “Dungu” karena ada pihak yang menganggap karya mereka dungu dan tidak pantas untuk masuk meja redaksi dan dilirik oleh juri. Sebegitu tercelanya karya para penulis “Dungu” sehingga mereka tidak punya esensi bahwa karya tersebut punya kekuatan untuk bersaing. Kedunguan telah hadir di hati beberapa penulis di Riau, namun apakah mereka akan diam? Tentu tidak mereka akan terus berpolemik tentang penyimpangan ini dan akan menjadikan polemik ini menajdi ruang berpikir kritis, apapun main goal yang terjadi, nyatanya tulisan ini adalah ruang bagi kita untuk sadar bahwa jangan pernah menganggap diri pintar atau jumaya lebih dari lain. Kita hanyalah manusia dungu, penulis dungu, yang memenangkan lomba dari perlombaan-perlombaan dungu dunia. (*)

Penulis merupakan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Pekanbaru. Ia merupakan pendiri Komunitas Jejak Langkah. Tunak menulis di beberapa media cetak dan online lokal dan nasional. Buku novel terbarunya berjudul Kelambu Waktu (2020). Ia juga memenangkan lomba juara 1 puisi guru nasional secara berturut-turut 2019 dan 2020, juara 2 lomba naskah drama nasional Dewan Kesenian Metro, dan cerpen terbaik Kemenparekraf.

Keranjang belanja

No products in the cart.

Return to shop

Salmah Publishing

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu