Dunia Tidak Pernah Adil
Penulis: Della Dkk
Jumlah Halaman: 146
ISBN –
Harga: –
Raya di Syurga
Fitrisma Rais
“Kak, mau beli tisu?”
Aku sudah hapal suara bocah SD yang hampir setiap sore menawariku membeli tisu yang ia jajakan di sekitar mini market ini. Aku tak menoleh, tidak juga menjawab. Aku tengah asyik membaca buku Ensiklopedi Kesehatan yang baru saja kubeli di toko buku yang bersebelahan dengan mini market ini.
“Sesekali beli tisuku, Kak” harap bocah tersebut.
“Kenapa kamu menjual tisu di sekitar mini market ini? Mini market in ‘kan juga menjual tisu, kamu akan kalah saing”. Aku memberikan pandangan kepada bocah tersebut sembari menoleh ke arahnya.
“Eh, siapa namamu?”, tanyaku.
“Raya, kak” jawabnya.
“Kalau aku jualan di toko seberang atau di toko sebelah, aku takut, Kak. Di sana banyak abang-abang yang duduk-duduk dan kadang sambil merokok juga”, jelasnya.
“Bukannya di sekitar sini ada juga yang duduk-duduk dan merokok juga?”, tanyaku.
“Tapi tidak sebanyak yang di sana, Kak’ jawab Raya.
Kupikir kekhawatiran Raya tentang hal tersebut ada benarnya. Sepertinya sekarang kejahatan terhadap anak-anak tetap marak. Ada perundungan, pelecehan, pemalakan, dan tidak tertutup kemungkinan penganiayaan. Aku pun lebih nyaman menunggu abangku menjemputku di dekat mini market ini karena alasan keamanan dan kenyamanan. Di sini tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu sepi. Ada juga kamera pemantau terpasang di beberapa titik. Di depan mini market disediakan beberapa kursi untuk pengunjung yang ingin rehat sejenak. Dan yang juga penting, aku bisa jajan makanan.
Pada akhirnya kubeli juga tisu yang dijajakan Raya ini. Bukan karena butuh tetapi lebih karena tak enak saja, selalu menolak membeli tisu yang ia tawarkan. Kali ini kusempatkan ngobrol dengan Raya, bertanya tentang kesehariannya.
“Raya sekolah ndak? Kelas berapa?”, tanyaku.
“Sekolah kak, kelas tiga”, jawabnya.
“Kenapa jualan?” tanyaku lagi.
“Membantu ibu, kak”, Raya menjawab tanyaku sembari wajahnya tengadah ke langit.
Aku melihat Raya seperti ingin menyembunyikan matanya yang berembun. Mungkin pertanyaan tadi membuatnya sedih. Kalau benar, berarti ada sesuatu tentang ibunya, atau tentang berjualan itu sendiri yang membuatnya sedih.
“Tapi kakak ndak pernah lihat ada ibu-ibu yang jualan tisu di sini”, jelasku.
“Ibuku memang tidak jualan tisu, kak. Ibu bekerja di londri pakaian, menyetrika. Karena itu aku harus membantu ibu mencari uang. Upah menyetrika pakaian yang didapat ibu tidak cukup untuk kami sekeluarga”, Raya menjelaskan sambil menunduk dalam.
Kalau melihat penampilan Raya, menurutku dia memang terlahir dari keluarga sederhana lebih tepatnya keluarga kurang mampu. Pakaian yang ia kenakan tampak sangat lusuh dan itu ke itu saja. Begitu juga sandal yang ia pakai, sangat kumal.
“Memangnya ayah Raya tidak bekerja?” aku jadi kepo juga.
“Ayah sudah lama ndak ada, kak. Pergi,” jawabnya.
“Oh…, maaf kalau kamu tidak suka pertanyaan kakak”, aku berusaha menunjukkan bahwa aku hanya sekedar ingin tahu.
“Tet.., te tet…” Abangku membunyikan klakson motornya.
“Raya, abang kakak sudah datang. Kakak pulang dulu,” aku bergegas menyusul abangku seraya melambaikan tangan ke Raya.
Bang Aidil memang selalu tepat waktu menjemputku. Syukurnya jam pulang sekolahku lebih dulu dari jam pulang sekolah abangku. Jadi abangku selalu bisa menjemputku, walaupun aku harus menunggu sekitar satu jam. Ibuku seorang pegawai bank dengan kesibukan pekerjaan yang tinggi sehingga tidak bisa antar jemput aku. Sedangkan ayahku sudah lama meninggal dunia. Aku sangat bersyukur punya abang seperti bang Aidil. Ia baik, penyayang dan juga pintar.
*****
Seperti biasa hari ini aku menunggu Bang Aidil menjemputku di depan mini market. Tapi aku tidak melihat Raya. Tidak seperti biasanya. Padahal aku semakin penasaran ingin tahu banyak tentang Raya. Aku sebetulnya hari ini ingin tahu seperti apa Raya membagi waktunya untuk belajar. Kemarin saat kami ngobrol, Raya memberitahuku bahwa ia sudah hapal Alquran juz 30. Aku saja yang sudah kelas 8 SMP ini masih belum tuntas menghapal juz 30. Masih tersangkut di surat An Naziat dan An Naba’. Terus kemarin Raya juga sempat menyampaikan keinginannya untuk tahu lebih banyak tentang ilmu Ekologi. Menurutnya lingkungan kita perlu diselamatkan karena sumber daya alam semakin menipis. Gerakan 3R, Reduce, Reuse, Recycle harus selalu digaungkan.
Aku menghampiri anak kecil penjual onde-onde yang kuperkirakan kenal Raya, karena kadang-kadang anak tersebut juga mangkal di mini market ini.
“Dik, lihat Raya, ndak?”, tanyaku.
“Kayaknya sakit, Kak”, jawabnya.
“Sakit apa? Rumahmu dan rumah Raya berdekatankah?”, tanyaku lagi.
“Kata ibunya, panasnya tinggi sekali ,kak. Sampai mengigau. Rumahku tidak terlalu dekat dari rumah Raya. Tapi aku setiap hari lewat di depan rumahnya”, si adik menjelaskan kepadaku keadaan Raya.
“Sudah di bawa ke dokter belum, ya?”, Kembali aku bertanya.
Adik kecil tersebut hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu.
*****
“Raya…!”, aku melambaikan tangan sembari memanggil Raya tatkala kulihat ia ada di depan mini market, dua hari setelah kutahu ia sakit.
Raya hanya senyum tipis. Aku berlari kecil ke arah Raya.
“Kamu pucat sekali, Raya”, aku mengamati Raya lebih dalam lagi.
“Katanya kamu demam tinggi kemarin. Kalau masih sakit jangan jualan dulu. Lebih baik kamu istirahat”, aku menasehati Raya.
Kupegang tangan Raya. Aku merasakan tangannya sudah tidak panas lagi, tetapi sangat dingin. Aku merasa aneh dengan kondisi Raya. Kalau kemarin demam tinggi, mengapa bisa pulih dalam dua hari, pikirku. Terus mengapa tangannya dingin, tidak seperti suhu normal. Aku bertanya-tanya dalam hati.
“Aku sudah agak mendingan kok, kak. Sudah tidak panas lagi. Tapi tadi pagi gusiku berdarah. Kata Emak, aku mungkin sariawan”, Raya memberitahuku tentang kondisinya.
“Kamu ndak periksa ke dokter?”, tanyaku lagi.
“Ndak, kak, Kemarin pas demam itu emak memberiku obat penurun panas. Sekarang memang agak lemas, mual juga. Tapi syukurnya tidak demam lagi”, kembali Raya menjelaskan kondisinya.
“Mudah-mudahan kamu bisa segera pulih sempurna ya, Raya”, aku menyampaikan harapanku ke pada Raya.
“Bagaimana hapalan Quranmu?”, tanyaku.
“Aku lanjut menhapal juz 27 dulu kak”, jawab Raya.
“Kenapa juz 27, tidak juz 29 saja?”, aku ingin tahu alasan Raya.
Aku suka juz 27 kak, di juz 27 ada surat Ar Rahman. Aku sangat suka surat itu karena di dalam surat Ar Rahman itu Allah berkali-kali bilang nikmat yang mana yang kamu dustakan? Menurutku walaupun aku harus membantu ibu dengan berjualan, ibu juga harus kerja di londri sambil juga momong adikku yang katanya anak ABK, kami harus tetap bersyukur. Kadang ada orang baik yang tiba-tiba memberi kami bantuan, misalnya bantuan beras. Kalau sekolahku gratis, kak. Kata ibu, ada orang yang menanggung biayanya, termasuk membelikanku buku pelajaran”, Raya menceritakan kehidupannya.
“Nanti sambil kakak menunggu jemputan, kakak murojaah hapalan juz 30 sama kamu ya? Jangan khawatir nanti kakak akan borong tisu mu,hahaha,,,”, aku mengakhiri pembicaraan karena bang Aidil sudah datang.