UNTUKMU NEGERI
Penulis: Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, L.C., M.M.
Penyunting: Ali Azumar
Desain Sampul Devin
Penerbit: Salmah Publishing
Jumlah Halaman/Ukuran: vi + 216 hlm
Ukuran Buku: 14.8 x 21 cm
Tahun Terbit: 2024
ISBN:-
“Membangun” Kebahagiaan Penduduk
Memasuki tahun 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Kebahagiaan di Indonesia. Secara nasional tahun 2021 mencapai angka 71,49 persen. Indeks Kebahagiaan Indonesia meningkat dari tahun 2017 dengan nilai dari 70,49 persen atau sebesar 0,80 poin dibanding tahun 2017. Peningkatan Indeks Kebahagiaan terjadi di sebagian besar provinsi. Meski Riau tak masuk 10 provinsi paling bahagia di Indonesia. Dari 34 provinsi, di peringkat 10 teratas adalah Maluku Utara, Kalimantan Utara, Maluku, Jambi, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Gorontalo, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Bisa dibilang tahun 2021 provinsi dengan Indeks Kebahagiaan teratas di luar Jawa. Sementara Sumatra diwakili Jambi di lima teratas. Lantas di mana Provinsi Riau? Secara persentase Riau berada di tengah dengan perolehan 71,80. Lebih baik dari sejumlah provinsi tetangga seperti Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Namun dibanding tahun 2017, Indeks Kebahagiaan Riau justru terjadi penurunan yakni 2017 dengan 71,89. Untuk kawasan Sumatra, Riau termasuk provinsi alami penurunan bersama Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Bengkulu.
Indeks Kebahagiaan tak lantas menghakimi capaian sebuah provinsi. Apalagi urusan kebahagiaan cenderung subjektif. Namun dalam perkembangan terkini, Indikator Kebahagiaan mendapat perhatian dan cukup banyak negara mempergunakannya untuk memperkaya indikator pembangunan nasional. Dengan memberikan cakupan perhatian yang lebih luas dari sebelumnya hanya indikator kesejahteraan material ataupun indikator kemakmuran ekonomi. Terlebih bagi negara penganut demokrasi, harus ada kacamata lain untuk menilai keberhasilan pembangunan dan kegiatan perekonomian. Bukan hanya melihat dari perspektif penyelenggara pemerintahan. Tetapi juga mencoba melihat bagaimana warga memandang dampak kebijakan dan pembangunan dari sisi pribadi. Dengan begitu tingkat kemakmuran ataupun kesejahteraan bisa terefleksikan dari dua sisi. Pengukuran Indeks Kebahagiaan bisa melahirkan perubahan atau penyempurnaan pendekatan seperti kebija-kan. Dampaknya terwujud kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana amanah UUD 1945 dan butir-butir Pancasila.
Riau Kurang Bahagia?
Melihat lebih detail Indeks Kebahagiaan Provinsi Riau bisa didapat sedikit gambaran tentang penilaian dan harapan masyarakat. Sekaligus sebagai catatan bagi Pemerintah khususnya di daerah guna meningkatkan kinerja agar dapat berdampak pada perbaikan layanan. Mengapa ke layanan? Sebab dari sejumlah indikator boleh jadi turut dipengaruhi persepsi warga atas pemenuhan hajat dan urusan mendasar yang seharusnya mereka peroleh. Secara kasatmata bisa dikaji dari beberapa dimensi kebahagiaan. Dimensi Kepuasan Hidup berkontribusi paling besar lalu disusul Dimensi Makna Hidup dan Dimensi Perasaan. Dalam Dimensi Kepuasan Hidup ada aspek Personal yang melihat dari kepuasan terhadap pendidikan, kesehatan, pendapatan, pekerjaan/usaha/ kegiatan utama, kondisi dan fasilitas rumah. Dari indikator-indikator yang ada, beberapa menarik untuk diulas.
Di antaranya Kepuasan Hidup Personal. Penduduk yang tidak mengalami kendala mengakses pendidikan punya capaian indikator kepuasan lebih tinggi. Dari data Provinsi Riau, penduduk tingkat pendidi-kan minimal SMA/sederajat hingga jenjang lebih tinggi punya persentase capaian kepuasan lebih tinggi daripada SD-SMP. Hal ini perlu digaris-bawahi Pemerintah Daerah (Pemda) khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Sebagai kerangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Apalagi kondisi Riau boleh dibilang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Laporan dari dinas terkait menyebut bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APK) dari SMP/MTs ke SMA/SMK/MA lebih kurang ada 27 ribu siswa tak tertampung setiap tahunnya. Temuan barusan sebenarnya bukan barang baru dan pernah mendapat sorotan dari Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau. Terungkap Riau ternyata menempati posisi ketiga nasional persentase tertinggi angka putus sekolah. Walau penyebabnya beragam, namun persoalan sarana dan prasarana sekolah turut berkontribusi sebagai penyebab.
Kondisi bangunan sekolah di Riau sebagian besar dalam keadaan rusak. Problem ini sudah termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau 2019-2024. Selama tahun 2021 Pemprov Riau memang telah membangun ratusan Ruang Kelas Baru (RKB) di berbagai daerah. Namun, pembangunan dinilai masih kurang untuk memenuhi kebutuhan. Terutama di pelosok desa banyak jauh dari jangkauan sekolah. Oleh karena itu, pengelolaan sektor pendidikan mesti serius ditangani. Khususnya kewenangan Pemprov. Sementara untuk kewenangan kabupaten/kota, peran Pemprov sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat mengkoordinir daerah juga dinanti. Sehingga bersama kabupaten/kota dapat menanggulangi angka putus sekolah. Begitu pula untuk pemenuhan kesehatan sebagai ukuran Kepuasan Hidup Personal. Ketersediaan sarana bagi warga menjaga kesehatan dan berobat. Namun lagi-lagi Riau punya PR besar. Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang Rasio Puskesmas per Kecamatan setiap provinsi di Indonesia tahun 2019, rasio Riau adalah 1,3. Sementara rasio puskesmas di Indonesia per kecamatan adalah 1,39. Artinya Riau di bawah rasio nasional.
Paradigma Baru
Pemenuhan aspek-aspek mendasar seperti pendidikan dan kesehatan secara langsung dan tak langsung turut membentuk rasa bahagia warga. Termasuk urusan infrastruktur jalan dan jembatan. Bagaimana ceritanya mau bahagia kalau saban hari hadapi kondisi jalan yang rusak. Justru bikin naik tensi. Barang publik merupakan unsur yang membantu warga menjalani kehidupan sehari-hari. Kebutuhan mendasar seperti pendidikan dan kesehatan elemen kunci untuk meningkatkan daya saing SDM daerah. Selain untuk mencapai pertumbuhan ekonomi juga mendatangkan keuntungan bagi daerah seiring terbentuknya rasa bahagia dalam diri warga. Paradigma ini semestinya menjadi kredo dalam kebijakan dan pembangunan daerah. Termasuk dalam upaya peningkatan pendapatan warga sebagai bagian dari Indeks Kebahagiaan. Pendapatan cukup dan memadai memberi penduduk kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Dalam hal ini, kegiatan perekonomian daerah semisal ekspor dan investasi mesti diarahkan untuk memberi nilai tambah bagi daerah. Sehingga dapat memperbesar keran peluang untuk mening-katkan kesejahteraan bagi masyarakat dan memperbaiki kebahagiaan warga dari segi pendapatan.
Di samping upaya pemenuhan unsur mendasar di atas, perlu pula memenuhi Kepuasan Hidup Sosial. Memperkuat modal sosial masyarakat dalam rangka mengokohkan hubungan sosial juga merekayasa agar terbentuk lingkungan yang aman dan nyaman. Dalam hal ini, kepuasan dalam hubungan sosial juga terbentuk dari adanya rasa percaya dan partisipasi sosial yang baik. Dalam khazanah demokrasi, agenda penye-lenggaraan pembangunan harus berangkat dari komunikasi dua arah. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat harus menjadi acuan bagi Pemda. Sejauh ini dari kegiatan reses kami di tengah masyarakat, keluhan kerap datang perihal kegiatan Pemprov yang tak sesuai kebutuhan mendesak mereka. Usulan dan aspirasi yang dibutuhkan masyarakat melalui anggota DPRD juga banyak tak masuk skala prioritas. Tak sedikit pula program/ kegiatan tanpa disertai pelibatan dan pemberdayaan masyarakat berujung mubazir dan sia-sia. Padahal pembangunan butuh pelibatan masyarakat. Dengan begitu pembangunan dapat berjalan secara optimal dan masyara-kat merasa bahagia karena kehadiran mereka dianggap dan dilibatkan dalam pembangunan, bukan di bilik suara saja. ***