Akulah Darah yang Mengalir di Nadimu
Penulis: Endut Ahadiat
Editor: Tim Salmah Publishing
Jumlah Halaman: xvi + 122 hlm
Ukuran: 14.8 x 21 cm
Penerbit: Salmah Publishing
Tahun Terbit: 2024
ISBN: –
SEMIOTIKA CINTA ENDUT AHADIAT
Membaca puisi-puisi Endut Ahadiat dalam buku puisi ini berjudul Akulah Darah yang Mengalir di Nadimu (2023) seakan-akan kita dihadapkan kepada sekian “Semiotika Cinta”. Semiotika yang diartikan oleh para pakar Semiotika sebagai sistem tanda, tetapi dibantah oleh yang lain sebagai proses pemaknaan, sangat kental dalam puisi-puisi Endut—tetapi kental mengenai cinta, cinta yang bercabang-cabang atau meminjam prosais Perancis, Guy de Maupassant, cinta yang terbagi ibarat aliran sungai. Cinta yang bercabang itu dapat berupa cinta tanah air, cinta nostalgia, cinta agama, dan cinta pribadi. Jadi, tema cinta ini dominan dalam puisi-puisi Endut sebagai tema yang ia kedepankan.
Puisi-puisi Endut secara umum ingin dikatakan oleh dirinya sebagai puisi naratif—yang ingin bercerita—agar retorika terasa longgar dan isi puisi mudah dipahami oleh pihak pembaca. Namun, tetap saja, bentuk-bentuk puisi Endut dalam proses ketegangan di antara konvensi dan inovasi—rupa-rupanya konvensi mengalahkan inovasi sebab bait-bait puisi Endut umumnya rapi, dan terlihat demikian dijaga agar tampak sebagai puisi, bukan sebagai prosa dalam arti sesungguhnya. Kita dapat mengingat puisi-puisi Taufiq Ismail tempo dulu misalnya. Inovasi bergerak dalam konvensi puisi-puisinya.
Misalnya, cinta tanah air terlukis dalam puisi berikut. Endut menyinggung soal sosial politik dalam wacana yang ia bangun. Dan memang wacana seperti ini akibat dari kekuasaan dari luar dirinya.
Bacalah puisi yang bertema cinta tanah air ini.
PRESIDEN AMANAH RAKYAT BERDEDIKASI
Presiden Jabatan Amanah Rakyat,
Tugas berat di pundakmu terletak,
Melayani rakyat dengan hati tulus,
Membawa negara ke arah yang maju.
Keadilan dan keadilan di jantung misimu,
Membangun negeri ini dengan visi yang cerah,
Amanah rakyat adalah peganganmu,
Bersama kita raih kemajuan yang sejati.
Tangguh dalam badai, bijaksana dalam tindakan,
Rakyatmu menyertaimu dalam doa dan harapan,
Presiden Jabatan Amanah Rakyat yang berdedikasi,
Untuk masa depan yang lebih baik, kita berjuang bersama.
Padang, 04/11/2023
Puisi di atas ini berbahasa lugas—bahasa komunikatif dalam puisi-puisi Endut Ahadiat umumnya sama—sebab yang dikejar oleh Endut ialah fungsi manfaat sastra atau dalam istilah Horatius (atau Horace) lebih dari 2000 tahun silam “utile” (useful). Bentuk puisi ini konvensional dengan tema cinta tanah air yang meminjam tokoh “presiden” sebagai amanat rakyat. Judul puisi ini telah menjelaskan dengan sangat jernih perihal tingkat pemahaman manusia yang menghendaki pemahaman politik yang baik, pemahaman yang dalam tradisi Hermeneutika disebut dengan “verstehen”.
Kini lihatlah puisi cinta nostalgia di bawah ini.
DERITA RAKYAT PULAU REMPANG
Di Pulau Rempang, derita terasa dalam sunyi,
Rakyat sederhana menatap masa depan yang suram,
Pulau yang indah, tapi rakyat terpinggirkan,
Mereka berjuang, berharap, di tengah badai yang datang.
Pekerja keras di ladang dan perahu nelayan,
Menghadapi kesulitan, tiap hari menjalani,
Mimpi dan harapan, masih bersinar dalam mata,
Meski derita menggelayut, semangat tak padam terlupa.
Bantulah mereka, berikan cahaya dan harapan,
Agar Pulau Rempang bersinar kembali dengan indah,
Derita rakyat ini, mari kita sadari dan peduli,
Bersama-sama, pulihkan dan bangkitkan kembali.
Padang, 09/09/2023
Puisi di atas tentang cinta nostalgia—cinta kepada tempat dan waktu tertentu. Akan tetapi, cinta itu tetap dipengaruhi oleh daya atau kekuatan dari luar sehingga Endut tetap kritis terhadap keadaan di tempat itu. Bait-bait di atas sangat jelas menguraikan cinta nostalgia yang bersifat kritis itu. Sifat kritis ini muncul akibat Endut mengaitkan sastra dan masyarakat secara sosiologis berikut problemnya.