Cerpen I Windi Syahrian Djambak I Berapa Jumlah Ikan di Laut
Berapa Jumlah Ikan di Laut?
(WS. Djambak)
BAGI Pak Akob, tak ada yang lebih penting ketimbang berapa jumlah ikan di laut. Pernah Nen, anaknya, bertanya ketika masih berusia balita bertanya mengenai jumlah ikan di laut. Sekenanya, Pak Akob menjawab, “Sebanyak bintang di langit.”
Nen yang tak puas, kembali bertanya, “Berapa jumlah bintang di langit?” Tentu saja bukan jawaban andai Pak Akob bilang sebanyak ikan di laut. Pak Akob kala itu habis akal dan tak bisa menjawab.
Memasuki kelas dua sekolah dasar, Nen mulai diajak Pak Akob pergi menongkah, mengutip kerang menggunakan tangan dengan menaiki papan kayu pipih serupa papan selancar. Biasanya dilakukan ketika surut tiba, entah itu pagi, siang, sore, maupun malam hari.
Pak Akob asyik menongkah. Tangannya yang satu bertumpu pada papan tongkah dan satunya lagi asyik mengutip dan memasukkan kerang ke dalam keranjang yang dibuat dari anyaman hati rotan. Posisinya di atas papan tongkah serupa merangkak, dengan sebelah kaki mengayuh ke lumpur untuk menggerakkan papan maju. Nen didudukkan di atas papan tongkah tepat pada ujung bagian depan, serupa ayah dan anak yang tengah berboncengan sepeda.
Nen kecil bertanya, “Kenapa kita harus menongkah, Abah?” Pak Akob terkejut Nen tiba-tiba bertanya demikian. Sudut matanya mengeluarkan kerut dan matanya menyipit, ia tersenyum lembut.
“Ini tradisi kita, orang laut suku Duanu, Nak. Orang kita menyebutnya mut tiangan, menangkap kerang. Karena menggunakan papan tongkah, makanya disebut juga menongkah.”
“Dulu pernah juga kau bertanya mengenai jumlah bintang dan ikan di laut. Abah tidak bisa jawab waktu itu. Yang Abah tahu, ikan dan kerang, diciptakan Allah Ta’ala tiada habisnya. Mereka demikian banyaknya di laut, asal laut terjaga. Tugas kitalah orang Duanu menjaganya,” sambungnya lagi.
Nen hanya diam. Tidak sepenuhnya kata-kata abahnya itu dapat dipahami. Hanya saja, ia tetap berpikir keras. Berapa jumlah ikan di laut?
***
Hari-hari jika tidak pergi melaut, Pak Akob akan pergi menongkah dengan Mak Nen, istrinya. Atau pergi menyusur hutan bakau untuk memasang bubu. Barangkali ada ikan sembilang dan udang, juga ketam yang bisa bisa dibawa pulang untuk lauk harian. Adapun ikan lomek kering hasil tangkapan jaring yang dijemur di depan rumahnya mau dijual ke Toke Amat untuk kemudian dijual lagi ke Tembilahan.
Keseharian seperti itu sudah dilakoni Pak Akob sejak dia belum beristrikan Mak Nen.
Pak Akob merupakan generasi terakhir yang hidup di laut. Dulu, orang tuanya hidup masih di atas sampan kajang, sampan yang difungsikan sebagai rumah tinggal beratap pandan.
Ketika zaman orde baru, hampir keseluruhan suku laut di Indonesia dirumahkan, tak terkecuali suku Duanu yang tergolong suku laut di Indragiri Hilir. Mereka dibuatkan rumah kayu oleh pemerintah yang bentuknya tidak lebih baik dari bonu redi, rumah sederhana yang dibuat suku Duanu ketika mereka tak lagi melaut.
Pak Akob tak puas dengan kondisi ini, murka. Baginya, melaut bukan sekadar profesi, melainkan jati diri. Belum lagi impitan ekonomi semakin tinggi dan standar hidup yang semakin tinggi pula. Mereka seakan dipaksa untuk menjadi suku lainnya jika tidak ingin dicap kuno dan kaum terasing. Untuk melawan stigma tersebut, anak-anak disekolahkan, tapi sebab biaya dan kebutuhan sekolah yang demikian tinggi, tak banyak dari mereka mampu lanjut ke perguruan tinggi. Alhasil, banyak yang berakhir kembali melaut sebagaimana orang tuanya. Seakan sia-sia saja sekolah tinggi-tinggi.
***
Sudah beberapa masa, Pak Akob dan nelayan lainnya pulang melaut hanya membawa ikan kecil beberapa ekor saja. Ukurannya tak begitu besar, dan mata jaring pun sudah diperkecil. Bukan sebab sengaja ingin menangkap anak ikan, melainkan ikan yang besar sudah enggan mampir membelitkan kepalanya di jaring nelayan.
Setelah ditelusuri, kejadian ini mulai berlaku sekitar beberapa tahun lalu. Ketika itu ada pembukaan lahan mangrove menjadi tambak di pesisir desanya. Mangrove yang ditebangi sebagai lahan tambak itu kemudian dijual ke Tembilahan untuk dijadikan cerocok bangunan. Belum lagi pabrik kelapa sawit yang berdiri hampir bersamaan dengan tambak, membuang limbahnya ke laut. Akibatnya, kerang semakin kecil, dan ikan serta ketam pun jadi jarang muncul.
Hari-harinya selalu risau. Jika laut tercemar begini, apa lagi yang bisa diperbuat mereka? Pak Akob, seorang lelaki setengah tua kolot yang begitu mencintai laut, lebih daripada kopi buatan istrinya yang disajikan dengan sepotong roti tawar selai srikaya. Ia mencintai laut sebagaimana ia mencintai ibunya, abahnya, saudara, istri, dan Nen, anaknya. Pantang baginya mencemari laut dan menangkap menggunakan bom, setrum, dan lain sebagainya.
Bagi suku Duanu juga pantang menebang sembarang bakau. Kalaupun hendak mencari kayu cerocok, dipilihnya bakau tua yang betul-betul lurus. Kemudian kalau berjumpa propagulnya, dicucukkan ke lumpur dan didoakannya supaya tumbuh besar mengganti bakau tua. Tak hanya bakau, entah nyirih, api-api, pedada, tumu, nipah, lenggadai, dan segala jenis tumbuhan pesisir yang oleh anak kuliah yang KKN di sana disebut sebagai mangrove.
Tak hanya permasalahan pesisir, di tengah laut pun mereka pernah hampir adu parang dengan nelayan trawl dari Tanjungjabung. Pernah kapal trawl disita pihak kecamatan dan diserahkan ke pengawas perikanan. Tak lama kemudian dilepaskan kembali dengan alasan di luar kewenangannya.
Pak Akob menarik napasnya sejenak. Air matanya seperti menggenang di bola matanya yang katarak. Ditatapnya mata Nen dalam-dalam, lalu kemudian berujar, “Dengarkan, Nak. Cerita yang kuperoleh dari abahku, yang juga diperoleh dari abahnya.”
Dengan agak gagap, ia melanjutkan, “Konon, kitalah yang digelari bajak laut. Tapi, kehadiran kita bukan merusak, Nak. Tak ada yang boleh berbuat kerusakan di laut selama ada kita. Dulu nenek moyang kita turut membantu Raja Kecik merebut tahta Kerajaan Malaka. Di Selat Malaka, tak ada yang lebih mahir ketimbang kita dalam mengayuh sampan. Mendengar nama kita saja, musuh-musuh gemetar kabur ketakutan.”
Nen mendengar tanpa bersuara. Namun dilihat dari raut mukanya, tampak ketaktertarikan sama sekali. Bukan Nen tidak mencintai laut seperti abahnya. Sejak kecil, Nen yang suka ikut abah dan maknya mencari ketam ke hutan bakau berpikir keras bagaimana cara mengetahui jumlah ikan di laut.
***
Nen selalu suka andai berhubungan dengan laut. sejak kecil, ia dengan sukacita ikut mak-abahnya menongkah. Pernah juga ia ikut naik sampan abahnya dan mencoba melempar jaring meski jaring tadi jatuh menimpa dan melilit badannya sendiri, kalau saja tak ditahan abahnya, ia sudah jatuh ke laut terlilit jaring dan kemudian mati, entah karena tenggelam, atau malah karena terbawa gelombang.
Jika sore tiba, sepulang dari mengaji di MDA, ia asyik pula berenang di Selat Concong bersama kawan-kawannya. Macam-macam gaya; mulai dari gaya dada, punggung, sampai gaya smackdown pun dilakukan mereka. Nen juga anak yang paling mahir Joged Betungkan. Saking mahirnya, ia sering disuruh tampil ketika acara adat dan festival dilakukan di sana.
Tradisi mengakar kuat di hatinya. Namun demikian, Nen ingin melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah. Ia ingin mengambil Jurusan Ilmu Kelautan biar bisa tahu berapa jumlah ikan di laut—konon, alat sekarang sudah canggih dan bisa mengetahui di mana dan berapa jumlah ikan di laut—dan dengan bangga ia bisa memberitahu abahnya.
Mak Nen tentu melihat kerisauan anaknya. Sebagai seorang ibu, ia hanya bisa mendukung cita-cita anaknya tersebut.
“Sudah tiba masanya kau renang lautan nasibmu. Jangan serupa kami, Nak. Sudah tiba masa bagi orang suku Duanu pintar dan terdidik. Memegang tradisi berarti menjaga jati diri, bukan berarti menjadi bodoh dan terbelakang,” pesannya suatu hari.
“Baik, Mak. Mohon doakan agar saya bisa membangkit batang terendam,” ujarnya sambil memeluk Mak Nen erat. Ibunya itu hanya diam, namun matanya jauh memandang ke luar jendela, seakan menyigi arah sampan Pak Akob yang tengah menebar jala di laut.
***
Hari itu pengumuman kelulusan. Sejak pagi Nen sudah risau, bukan sebab khawatir tidak lulus. Ia justru menyabet peringkat 1 se-kecamatan. Nen bingung hendak berbuat apa setelah lulus. Sambil menggenggap raport, ia berjalan pulang dengan bimbang. Kepalanya tertunduk lesu. Bisa dibayangkannya reaksi Pak Akob nanti. Benar saja, baru saja pintu rumah dibuka, ia melihat abahnya duduk sambil mengopi di jendela yang mengarah ke laut. Angin laut yang panas dan amis menampar muka Nen yang sedari tadi ingin menangis.
Pak Akob tersenyum lebar. Sambil mempersilakan anaknya duduk, Pak Akob menepuk-nepuk pundak anak semata wayangnya. Nen paham maksudnya.
“Jadi, kau sudah bisa ikut Abah ke laut?” tanyanya singkat.
Nen hanya bisa diam. Ia tak memiliki keberanian untuk mengatakan tidak kepada abah yang teramat dicintainya. Senyum abahnya yang lebar semakin menambah kerut pada pipinya yang sudah keriput. Kulit legam yang ditempah matahari hampir tak lagi bisa dibedakan warnanya dengan lantai papan rumah mereka.
***
Petang itu, Nen ikut abahnya melaut. Kali ini ia sudah pandai melempar jala dengan lengkung sempurna. Juga menebar jaring hingga puluhan depa jaraknya.
Tengah asyik mengulur jaring, dari arah balik tanjung pada jarak beberapa bentangan jala, tiba-tiba terdengar bunyi dentuman keras, disusul asap yang mengepul ke atas.
Pak Akob yang membantu Nen melepas pelampung jaring terakhir kemudian menyuruh Nen mengengkol kapal. Mereka bergegas ke arah sumber suara. Terlihat sebuah kapal berukuran beberapa kali kapal mereka tengah melaju. Di belakangnya sebuah kapal kecil luluh lantak menjelang tenggelam. Mesin yang panas mulai tenggelam pada air mengeluarkan asap dan uap bersamaan.
Nen menatap nanar pada katrol trawl yang menggerung mengeluarkan bunyi dengung. Dari arah utara angin mendesing seumpama peluru dari bedil Polairud ketika patroli, pertanda akan masuk musim meno utaru, musim angin utara. Kapal trawl semakin mempercepat lajunya ke arah Pak Akob dan Nen.
“Piak Duanu lap ne dolak, takkan Duanu hilang di laut,” ujar Pak Akob gemetar. Matanya basah, tapi tatapannya tidak kalah. [*]
WINDI SYAHRIAN, atau dikenal dengan nama WS. Djambak saat ini bermastautin di Pekanbaru, Riau. Seorang ASN di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyukai dunia tulis-menulis; puisi, cerpen, esai, dan novel. Beberapa cerpennya pernah terbit di media cetak lokal dan daring: Kompas, Jawa Pos, Republika, Singgalang, Riau Pos, Asyikasyik.com, lensasatra.id, dan lain sebagainya. Pernah menjuarai lomba kepenulisan esai tingkat nasional bertemakan mangrove.