Esai I Bambang Kariyawan Ys I Leihitu, Laut, dan Ayah
Membaca Lelaki Leihitu laksana membaca ajakan untuk menikmati alam di sana. Di sinilah letak kekuatan sastra, imajinasi dalam larik-larik puisinya akan membuat keingintahuan lebih dalam. Dari sisi lain, dapat saja lewat Lelaki Leihitu menjadi pembuka mendongkrak pariwisata daerah setempat. Rasa penarasan membawa saya mencari referensi dimana dan seperti apa Leihitu. Digambarkan Leihitu sebagai kecamatan di Maluku Tengah yang memiliki pemandangan alam dengan rindangnya pepohonan di antara kelokan jalanan, dan lanskap pesisir yang tampak dari ketinggian. Jejak sejarah bangsa Eropa berupa Benteng Amsterdam diulas dengan menarik serta disinggung tentang kuliner berupa Kopi rarobang dan Ikang asar (ikan bakar) khasnya. Narasi tersebut tentu akan berbeda keindahan serta imajinasinya saat dituangkan penyair ke dalam larik-larik puisi tentang Leihitu.
Pengantar ini saya beri judul “Leihitu, Laut, dan Ayah” dengan mempertimbangkan komposisi yang diceritakan penyair. Dari 63 judul puisi terdapat 8 judul berbicara tentang Leihitu, 6 judul tentang laut, dan 4 judul tentang ayah. Judul selebihnya walaupun tidak memberi label tentang Leihitu, Laut, atau Ayah, namun bila ditarik benang merahnya bermuara pada tiga kata tersebut. Adalah wajar bila seorang penyair menjadikan latar belakang masa kecilnya, tempat tinggalnya, serta orang-orang terdekatnya sebagai inspirasi dalam berkarya.
Penyair punya pertimbangan tersendiri menjadikan kata Leihitu sebagai judul dan kata tempat yang selalu ulang-ulang. Misi mengenalkan tempat tinggalnya agar dilirik dan dibincangkan orang luar Leihitu. Leihitu menawarkan banyak hal keindahan tentang tatakrama dan cara bersaudara. Simaklah tentang keindahan Leihitu pada puisinya “Di Leihitu”:
di leihitu kubelajar banyak hal indah
tentang tatakrama
hidup orang bersaudara
tanpa harus dibayar dengan rupiah
kubelajar dari asilulu
sampai di desa hitu
bagaimana cara mereka merawat leihitu
hingga berganti rindu di saat aku sudah merantau jauh
Tentang laut yang selalu menggelorakan penyair dengan riak, arus, dan gelombangnya menghasilkan segala diksi tentangnya. Banyak penyair termasuk saya yang memiliki latar belakang kelahiran dan membesar dalam alam laut. Terasa mudah dan indah menjatuhkan pilihan diksi laut dengan segala dinamikanya dalam bait-bait puisi. Demikian pula penyiar dalam puisinya “Tentang Lautku”.
aku mengenal musim dari lautan
menumpah seluruh keringatku di sana
dari belajar berlari di bibir pantai
belajar berenang di rahim gelombang
hingga belajar menari menyambut indahnya senja
menjelang megahnya jingga
Sosok Ayah mendapat tempat khusus bagi penyair. Ayah sebenar mendampingi dan sosok dalam menggeluti laut. Nasihat ayah dalam proses hidup penyair terasa membekas dan mengental dalam pikiran dan tindakannya. Simak “Kata Ayah”.
kuingat kata ayah sebelum aku remaja;
bila kau menjumpai orang-orang yang dari pagi bermandikan
keringat dan air mata di saat kau sudah jauh dari ayah,
jangan kau biarkan, bantulah dia mengeringkan nestapanya
sebelum air mata dan keringatnya menjadi samudra.
Dalam buku ini bulan Juni terasa istimewa sekali bagi penyair. Dua judul puisi yang bicara tentang bulan Juni yaitu Hujan Juli dan Gelisah-Gelisahnya serta Juni dan Cerita yang Usai. Namun bukan sekedar itu pada titimangsa terdapat 54 dari 63 puisi diakhiri pada bulan Juni. Tentunya penyair punya alasan tertentu dan proses tertentu menjatuhkan pilihan selesainya puisi ditulis pada bulan Juni pada tahun yang sama. Tidak mudah pula menulis 54 puisi yang berisi dalam satu bulan atau penyair punya target tertentu sehingga harus diselesaikan pada bulan yang sama. Namun yang jelas penyair tidak pernah lupa melakukan proses pengendapan atas karya yang dihasilkannya. Hal ini terlihat dari pilihan kata dari setiap puisinya selalu memiliki pesan-pesan tertentu.
Leihitu, Laut, dan Ayah mengajak kita mendalami identitas kesejarahan dalam Senja di Amsterdam serta bernostalgia tentang gemilang rempah dari Indonesia Timur. Penyair menyajikan sangat indah tentang perjalanan rempah dari kampungnya untuk dikenal kembali ke Nusantara. Lihatlah puisi Desa Rempah-Rempah, Pohon Pala, dan Musim Cengkih. Buku ini memiliki pesan-pesan bumi yang kuat dengan hadirnya puisi Di Hutan Kita dan Puisi untuk Penjaga Hutanku.
Bagaimanapun, puisi-puisi ini telah hadir di tengah kita ada keinginan untuk mencintai.
mencintai laut dengan gila bermuara di negeri hila
mencintai gunung yang tumbuh dewasa di atas mamala
mencintai telaga di gunung tuna
mencintai senja seindah bianglala
— Mari mencintai puisi —
Bambang Kariyawan Ys, sastrawan kelahiran Tanjung Uban – Kepulauan Riau. Residensi Seniman Riau oleh Komunitas Seni Rumah Sunting 2023, Pemenang 3 Kategori Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau 2022, Pemenang Terbaik 3 Film Pendek Dewan Kesenian Riau 2022, Penulis Skenario Film Animasi Cerita Rakyat Badan Bahasa Kemdikbudristek 2022, Penerima Anugerah Tokoh Bahasa dan Sastra Balai Bahasa Provinsi Riau 2021, Penerima Penghargaan Acarya Sastra Kemdikbud 2019.