Kebudayaan Butuh Kritikus

Penulis: Della Montia, S.Pd

ORANG yang bisa bersahabat adalah orang-orang yang tidak terlalu baik dan tidak terlalu jahat. Artinya orang-orang seperti inilah yang bisa memposisikan dirinya di tengah-tengah ruang ugahari (modernisasi) yang memahami perubahan zaman, namun untuk menjadi sosok ugahari sangatlah sulit karena harus bisa menerima perbedaan dan bisa menikmati perbedaan di mana pun ia berada.

Dalam diskusi yang dilakukan bersama Prof. Dr. Yusman Yusuf, M.Psi dengan tema “Pembatinan Kebudayaan, Kenapa Literasi?” belum lama ini di Rumah Baca SCW yang beralamat di Jl. Semangka gang Pelajar Sukajadi. Prof Yusmar sangat jelas memaparkan bahwa mencari pembenaran atau mengritik karya itu boleh bahkan sangat diizinkan. Di zaman Yunani kuno tradisi sanggah-menyanggah itu telah ada bahkan membawa pada titik daya kritis memahami permasalahan dan karya yang dikritisi tidak mudah dilupakan zaman.

Diskusi bersama Prof Yusmar ini digagas oleh Siti Salmah dengan moderator tak kalah ahlinya dalam bidang kesusastraan yaitu Dr. Bambang Kariyawan, M. Pd, di bawah payung komunitas literasi Salmah Creative Writing (SCW). Tepat pada hari Sabtu tanggal 14 Januari 2023 mulai pukul 14.00 sampai hampir magrib. Diskusi ini menyadarkan saya sebagai generasi muda penikmat kebudayaan yang selama ini hanya berani mengkritik di dalam hati. Sore itu saya termangu ketika Prof Yusmar selaku narasumber mengatakan bahwa orang yang terlalu asik puja-puji ia sedang menciptakan ruang-ruang kurang ajar (pembodohan). Ya, selama ini saya telah terlibat dalam sekandal puja-puji itu. Diskusi ini tentu sangat bermanfaat, saya merasa seperti sedang kuliah filsafat, mendengar paparan demi paparan yang menggunakan meta bahasa.

Mengenal Wahyu

Setelah manusia mengenal aksara membuat manusia menjadi pelupa. Itulah salah satu skandal peradaban, ditambah lagi penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg semakin memperbanyak deretan skandal di era digital.

Media sosial telah merambah segala bentuk informasi tanpa pilah dan pilih termasuk berita yang setiap detiknya menyuguhkan data yang semu. Itu yang sering kita terima di gawai saban hari. Contoh dari hasil karya sastra seperti puisi, cerpen ataupun catatan singkat ketika dilemparkan ke media sosial telah menjadi majusi penyembah api yang ingin mendapat respon positif (like) saja.

Untuk mendatangkan sel-sel aktif kebudayaan yang hampir mati maka dibutuhkan proses pencarian dari satu tempat ke tempat lain yang masih aktif. Cara ini menyelamatkan kita dari neraka literasi bukan setakad puja-puji atau sembah-menyembah di media sosial. Menurut Yusmar seniman berperan penting dalam mengumpulkan wahyu-wahyu yang tercecer dengan proses penciptaan karya saling kritik demi kebaikan agar tidak tercipta ruang-ruang kurang ajar.

Kesadaran Literasi

Jika literasi tidak baik, akan mengalami fase narkosis yaitu fase kehilangan kesadaran dalam menyusun dan memahami hakikat peradaban literasi itu sendiri.

Kesadaran literasi sudah lama dipupuk melalui tradisi surat menyurat antara Raja Ali Haji dengan Von de Wall. Tradisi literasi oleh Rusydiah Club merupakan tradisi yang harus diteruskan. Fungsi literasi “untuk mendewasakan manusia” tentu untuk mendewasakan dan membesarkan kebudayaan kita pula.

Kesadaran dalam literasi sebenarnya membuat seseorang mampu memahami dan menilai kebudayaan dengan baik Sebab kebudayaan itu butuh kritikan bukan hanya sebagai penikmat. Jika sebagai penikmat saja akan terjadi pendangkalan-pendangkalan kebudayaan. Sedangkan kritik menjadi penghalus kebudayaan dengan anasir-anasir kritis yang membangun.(*)

Keranjang belanja

No products in the cart.

Return to shop

Salmah Publishing

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu