KEPADAMU KAMI BICARA: Linear, Simbolik, dan Puisi Barangkali

KEPADAMU KAMI BICARA: Linear, Simbolik, dan Puisi Barangkali

Oleh: Bambang Kariyawan Ys

PEKANBARU (SP) – Sudah banyak yang hilang di kota ini, ucap bangunan-bangunan tua
Kepada topi lebar yang bertengger di kepala seorang pelancong
Ketika bendi melaju menuju kedai kuliner dan toko oleh-oleh
Bunyi kleneng genta di leher kuda membawa ke masa lalu yang tersuruk
Gelimun debu, kotor, tak terbaca, sejarah yang dihilangkan
Berganti wajah-wajah baru
Gambar-gambar itu telah diterbangkan bersama riuh pesawat menuju ibu kota
………
Sudah banyak yang tak ada di kota ini
Gambar-gambar itu telah ditimbun bersama peta, tanda, dan narasi yang pucat
Pada suatu ketika
Orang-orang entah akan berziarah ke mana?

(Gambar-gambar yang hilang dalam peta, halaman 27)

Penggalan puisi di atas dalam tinjauan sosiologi, terkhusus dalam bahasan perubahan sosial akan masuk dalam teori linear (perkembangan). Teori ini mengungkapkan bahwa suatu masyarakat berkembang dari satu fase tradisional berkembang menuju fase modern. Perubahan diyakini adalah sebuah keniscayaan. Namun keniscayaan akan diterima bila perubahan yang terjadi tidak memaksakan jejak-jejak kenangan masa lalu dengan paksa. Cara pemaksaan menghilangkan sebuah tempat masyarakat bertempat tinggal hanya akan meninggalkan luka akan sejarah.

Dapat dilihat pada sebaris “orang-orang entah akan berziarah ke mana?”. Pertanda siapapun kita ada kerinduan untuk merajut kembali kenangan. Kita perlu banyak belajar bagaimana sebuah negara merawat masa lalu untuk membangun identitas kenangan dalam menata sebuah tempat yang pernah ditinggali. Mengingat akan selalu ada benang-benang sejarah yang dapat diulik dan digali untuk menjadi bahan pelajaran bagi siapapun.

Pada bagian lain kita lirik penggalan puisi yang berjudul “Sebuah bus berangkat pagi itu” pada halaman 42.

Loket perhentian bus yang sempit, terdesak antara spbu dan toko baut
Di antara jalan kecil yang dibagi dua jalur. Sesak bagai udara
Pagi itu mendung sudah mengisyaratkan perpisahan. Lagu-lagu berkabung
Segala sesuatu terlihat sedang berkemas. Tas, ransel, kopor, dipurukan ke dalam bagasi
Keranjang, karung kumal, goniplastik, beragam kardus bersetindih dalam teriakan
Bersegeralah, sebentar lagi bus akan berangkat. Kota ini terlalu angkuh dan bebal!

Bila kita cermati dengan rapat maka hampir dalam setiap barisnya bermunculan benda-benda, seperti bus, tas, ransel, kopor, keranjang, karung kumal, goni plastik, kardus, dan kata-kata benda lainnya. Ada apa dengan benda-benda tersebut? Bahkan bila kita jeli membaca 32 judul puisi dalam buku ini, hampir keseluruhan melekatkan benda. “hari tua sebuah kelewang”, “mesin ketik”, “sebuah buku pada hari pembakaran”, “los terang bulan”, “stasiun parit rantang”, “bioskop karia”, “sepeda sanki”, dan penempatan benda-benda lainnya dalam judul yang lain. Bahkan pada kover bukunya pun ditampilkan dua benda berupa kain warna hitam dan seutas tali yang disangkutkan pada dinding. Sekali lagi ada apa dengan benda-benda tersebut?

Kembali melihat pada kajian sosiologi tentang teori interaksi simbolis, menunjukkan benda-benda mati sebagai simbol dalam proses menjalankan sebuah interaksi. Analisis sederhananya benda-benda yang dimunculkan oleh penyair menjadi simbol-simbol yang menyuarakan sesuatu. Suara sejarah, suara masa kecil, suara kehilangan, bahkan suara perlawanan.

Struktur puisi dalam buku ini berisikan fragmen-fragmen detil tentang perubahan sebuah kota yang disimbolkan melalui benda-benda yang pernah mengiringi waktunya. Penyair agaknya sedang melakukan eksperimen terhadap pengkaryaan dengan menghadirkan struktur puisi yang berbeda. Dalam pengantar buku ini Esha Tegar Putra menguatkan pernyataan tersebut.

Puisi-puisi dalam kumpulan ini menjadi penanda pergantian fase dan perubahan model perpuisian Iyut Fitra, sekaligus sebuah upaya dari seorang penyair untuk merawat ingatannya terhadap sebuah kota, dan ruang reflektif untuk melakukan pembacaan terhadap sebuah perubahan.

Pesan tersembunyi dalam puisi-puisi penyair dapat dilihat pada baris-baris terakhir sebagai ending cerita dalam puisi. Selalu ada kejutan dan dirangkai pada bagian awal dengan personifikasi benda-benda maka dibagian akhir dikejutkan dengan sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi dalam lingkungan sosiologi sastra penyair. Pada puisi pertama yang berjudul “hari tua sebuah kelewang”. Sepertinya menceritakan tragedi pembantaian besar yang pernah terjadi, terlihat pada baris,”karena mayat-mayat yang mengambang tanpa kepala, adalah saudara atau tetangga”. Hal ini hanya dugaan karena penyair dalam kisah-kisah besar yang diceritakan melalui personifikasi benda tak ada menyebutkan tempat, waktu, ataupun tokoh, sebagai pedoman penelusuran sebuah cerita.

Terlepas dari itu penyair agaknya yakin bahwa melalui puisilah akan tetap terjaga kenangan-kenangan atas perubahan-perubahan yang telah dipaksakan menghilang. Walaupun terkadang puisi-puisi itu tidak ditempatkan sebagai media merawat kenangan itu. Entahlah. Akhirnya “Puisi Barangkali” halaman 44.

Puisi ini barangkali huruf-huruf yang tergeletak di jalanan. Ditinggal lalu lalang menatap bagai mata gergaji
Puisi ini barangkali kata-kata bermuntahan dari ribuan mulut yang mengembara di padang-padang impian, panggung, dan perayaan
Puisi ini barangkali kalimat-kalimat luka di atas bendera yang sama
Puisi ini barangkali catatan panjang dari barisan sekarat
Puisi ini barangkali adalah selembar kertas tentang bangsa yang koyak. (*)

Penulis: Kepala SMAS Cendana Mandau dan Pengurus BPP Forum Lingkar Pena

Keranjang belanja

No products in the cart.

Return to shop

Salmah Publishing

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu