Merah Jambu

Penulis: Reni Juniarti
Penerbit Salmah Publishing
Tahun Terbit: 2024
Jumlah Halamah: viii + 186 hlm
Ukuran: 14.8 x 21 cm
Harga:

1. Pulang

Aku menepuk-nepuk kaki celana jeans yang aku pakai, bukan karena kotor tapi menghilangkan rasa sebal dalam hatiku. Aku benar-benar marah pada Ayah dan Bang Rangga, bisa-bisanya mereka berpikir menjodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tidak aku kenal. Terlebih lagi dia seorang Polisi. Aku benci aparat berpakaian coklat itu, menurutku mereka tidak ada yang benar.
(Pulanglah dulu, jumpai Bang Raka, sekali saja)
Itu pesan Ayah yang aku baca di whatsappku pagi ini.
(Untuk apa, Ayah?)
(Nak, Ayah sudah tua, Abangmu ‘pun sudah berkeluarga, Ayah tidak mau jika nanti Ayah menyusul Ibumu, kamu tidak ada yang menjaga.)
Ayah selalu membawa-bawa nama Ibu agar aku tidak bisa menolak. Ibu memang meninggal lima tahun yang lalu saat aku masih duduk di kelas sebelas SMA.
Dan di sinilah aku sekarang, menunggu keberangkatanku menggunakan Superben (Mini Bus) menuju kota kelahiranku, kampung halaman tercinta. Sebuah kampung yang tidak terlalu jauh dari kabupaten dan masih kental dengan adat istiadat.
“Pasir … Pasir …”
Suara kernet yang begitu keras mengagetkanku. Aku meraih tas ransel yang ada di sebelah kiriku dan menyantelkannya di pundak. Namaku Aisyah Khoirunnisa jangan tanya kenapa orang tuaku memberi nama itu, atau jangan tanya sejarah nama tersebut karena aku nggak pernah tahu. Pernah sekali aku bertanya pada Ayah, dan jawaban beliau singkat padat dan jelas.
“Ayah, ingin kamu menjadi wanita yang baik.”
Simple bukan? Ah sudahlah, bukan nama ini yang penting tapi alasan aku pulang inilah yang penting. Menyebalkan!
“Saya di belakang supir, Bang, nggak mau di sese.” Kataku saat kernet membuka pintu depan. Sese itu biasa kami sebut untuk tempat di samping supir.
“Depan aja, Dek, enak nggak bau rokok nanti.”
Aku melihat ke arah sopir yang tersenyum genit. Sial. Kenapa hari ini aku sial banget, udahlah mau dijodohin, digenitin pula sama sopir? Aku mengumpat dalam hati.
“Di belakang aja deh, Bang,” aku malas berdebat. Aku langsung masuk dan duduk di kursi belakang supir, tempat favoritku kalau naik Superben. Aku menggeser kaca jendelanya dan seketika udara yang semula pengap jadi sedikit segar.
Ayah memang aneh, akhir-akhir ini dia selalu ingin aku pulang. Ada saja alasan yang dikemukakannya, mulai dari kangen sampai perjodohan. Mengingat tentang perjodohan membuat aku kembali galau.
“Emang kamu sudah punya pacar?” kata Kak Rani, kakak iparku.
“Ya nggak sih.”
“Nah, berarti nggak ada dong alasan buat nolak.”
“Ada, Kak.” Aku merajuk, kenapa semua orang nggak ada yang peka sih? Biasanya Kak Rani selalu di pihakku tapi sekarang?
“Apa coba?” kakak iparku ini mulai menyebalkan.
“Ais nggak suka dia, Kak, Ais juga kalau nikah nggak bakal mau sama polisi, ogah!” Aku memeletkan lidahku pada Kak Rani, wanita berkulit putih bersih itu tertawa.
“Dek, coba pulang aja dulu, Ayah berharap banget lho.” Bang Rangga nimbrung percakapan kami.
“Bang, mikir dong, Ais masih kuliah lho, semester enam! Lucu aja kalau buru-buru nikah, ntar dikira MBA lagi.”
“Huss, tu mulut sembarangan ya.”
Bang Rangga menimpukku dengan bantal yang awalnya dia pakai. Bantal itu mendarat indah di kepalaku.
“Abang, ih,” Aku melotot.
“Sudah, sudah, kalian ini tidak pernah bicara serius lebih dari lima belas menit, heran deh. Kamu juga Yang, diam dulu kenapa sih?”
“Tadinya mau diam, Yang, tapi kamu liat sendiri ‘kan anak kecil ini gimana? Keras kepala!”
“Udah tahu Ais masih kecil, kenapa dijodohin? Ntar Ais lapor ke Kak Seto dan KPAI lho.” Aku mengusap keningku yang dicium bantal tadi.
“Diam dulu kenapa sih? Ais juga kenapa bawa-bawa Kak Seto? Ntar dia capek lho dibawa-bawa.”
“Ih, Kakak apaan sih, nggak lucu.” Aku mendelik ke arah kakak iparku yang gilanya sebelas dua belas dengan Abangku.
“Ais, kami semua sayang Ais, ingin yang terbaik untuk Ais. Ikut kami pulang ya.” Kak Rani masih membujukku.
“Kak, kalau Ais bilang nggak ya nggak!”
“Pulang!”
Aku terdiam mendengar bentakan Bang Rangga. Entah kenapa nyaliku ciut apalagi melihat tatapan matanya yang tajam, sungguh Abang nggak pernah menatapku seperti ini.
“Yang, sabar dulu kenapa sih? Ais takut lho.”
“Anak ini terlalu keras kepala, Yang.”
Kak Rani memelukku yang langsung menghambur ke pelukannya. Aku adalah Aisyah Khairunnisa, putri bungsu Ayah Jamal dan Ibu Maryam. Adik satu-satunya Nang Abdullah Rangga Permana. Dengan status yang aku miliki maka tidak heran kalau aku adalah anak yang selalu di manja. Aku akui aku kadang keras kepala, tapi tidak ada satu orang ‘pun yang akan memarahiku. Tapi kenapa kali ini gara-gara Raka sialan itu Abang yang paling aku sayangi berani membentakku? Aku semakin membenci manusia yang belum pernah aku lihat itu.
“Tapi nggak harus dimarah-marah juga kali, Yang.”
“Ini juga gara-gara kamu yang selalu memanjakannya, membuat dia makin keras kepala, Yang.”
“Kok, malah aku yang salah sih, Yang?”
Aku mengeraskan suara tangisanku mendengar mereka malah adu mulut, bukannya berusaha membujukku. Dasar suami istri aneh.
“Tuh, ‘kan makin kenceng nangisnya, nggak ngerti perasaan wanita sih?”
Aha! Aku tahu kalau sudah begini Abangku pasti akan luluh. Aku sering melihat mereka berantem dan kalimat andalan Kak Rani adalah kalimat barusan.
“Dek, maafin Abang, Abang nggak bermaksud memarahimu.” Nah, apa kubilang?
Aku merasakan tangan saudara seperutku1 itu menyentuh kepalaku. Aku masih membenamkan kepalaku dalam pelukan Kak Rani.

Keranjang belanja

No products in the cart.

Return to shop

Salmah Publishing

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu