Paman Chan dan Sekawanan Burung Gereja

Pagi ini seperti biasa, setelah berolahraga dan memberi ayamnya makan, Paman Chan menikmati secangkir teh hangat di teras rumah. Pandangannya lepas menikmati pekarangan yang hijau, penuh dengan bunga-bunga cantik.

“Ah, mengapa belum datang?” Paman Chan berkata lalu menyeruput tehnya.

Paman Chan adalah seorang penikmat teh. Dia sangat suka menikmati teh dari berbagai daerah. Apalagi teh dari kampung halamannya, Taiwan.

“Halo, Paman Chan!” Sapa anak-anak yang akan berangkat ke sekolah melintasi rumahnya.

“Halo, Anak-Anak Hebat! Ayo, singgah sebentar. Paman ada sesuatu.” Paman Chan bergegas masuk ke dalam rumah.

“Ini, kemarin Paman mendapat kiriman makanan dari Taiwan. Silakan dicoba! Halal dan terbuat dari kacang tanah. Rasanya sangat enak,” ujar Paman Chan sambil membagikan makanan tersebut kepada anak-anak.

“Terima kasih, Paman,” ujar anak-anak serempak.

“Sepertinya jambu di sana sudah mau masak. Kalau sudah masak, boleh kami ikut memetiknya, Paman?” tanya salah seorang anak sambil menunjuk pohon jambu yang tumbuh di pekarangan rumah Paman Chan.

“Oh, tentu saja. Nanti kita petik bersama-sama. Jambu itu rasanya manis dan sehat tentunya, karena Paman tidak menggunakan pupuk kimia. Nah, sekarang kalian segera ke sekolah, jangan sampai terlambat.”

“Baik Paman. Sampai jumpa.” Anak-anak melambaikan tangan dan tersenyum penuh semangat.

Ya, sesuai dengan panggilannya. Paman Chan bukanlah warga asli Indonesia. Ia asli keturunan Taiwan. Ia sangat senang berkebun. Paman Chan menanam beberapa jenis sayuran di kebun belakang rumahnya. Hebatnya, Paman Chan tidak menggunakan pestisida untuk melindungi tanamannya dari serangan hama. Paman Chan pernah bercerita kalau di kampung halamannya sangat jarang petani menggunakan pestisida.

Di sekitar rumah Paman Chan juga ditumbuhi banyak tanaman peneduh. Sejuk, begitulah kesan setiap orang melihat rumah Paman Chan. Selain penikmat teh, Paman Chan sangat suka makan telur. Maka dari itu, Paman Chan juga beternak ayam kampung.

Rasa telur ayam kampung selalu lebih enak, pikir Paman Chan.

Saat Paman Chan memandangi anak-anak yang berangkat ke sekolah, sekawanan burung gereja terbang dan hinggap di pekarangan rumahnya. Burung-burung itu bermain dan mencari makan. Seketika wajah Paman Chan terlihat senang.

Burung gereja yang bermain dan mencari makan di pekarangan rumahnya, menjadi hiburan tersendiri bagi Paman Chan. Ia tinggal sendiri. Istrinya telah meninggal enam tahun yang lalu karena penyakit kanker hati, sedangkan anak-anaknya telah dewasa dan bekerja di luar kota. Ada juga yang berkarir di Taiwan.

“Hei, Burung-Burung Kecil! Bermain dan makanlah di pekarangan rumahku sepuasnya. Aku akan selalu ada untuk menemani kalian di sini.” Paman Chan menyapa burung-burung itu.

Seakan mengerti, seekor burung gereja berkicau. “Chip, chip, chip.” Paman Chan tertewa girang melihat tingkah laku burung itu.

“Hahaha.” Paman Chan tertawa hingga matanya terlihat hanya segaris.

Suatu sore Paman Chan terduduk lesu di beranda rumahnya. Tangannya memegang secarik kertas. Surat dari dokter rumah sakit tentang kondisi kesehatannya. Paman Chan terdiam dan pandangannya jauh. Kesehatannya terus memburuk beberapa waktu terakhir.

Seorang anak Paman Chan telah pulang untuk menemani Paman Chan menjalani pengobatan. Selama menjalani pengobatan itu, Paman Chan tidak pernah terlihat lagi duduk di pagi dan sore hari di teras rumahnya. Hanya sekawanan burung gereja yang telah biasa datang terlihat di sana.

“Yi-Hui, rumput di pekarangan depan jangan terlalu sering dirapikan. Kalau pun kau ingin merapikannya, sekadar saja, karena setiap pagi akan datang sekawanan burung gereja makan dan bermain di sana. Mereka selalu menjadi teman Appa,” pesan Paman Chan malam itu kepada anaknya.
Anaknya mengangguk mengerti. Yi-Hui juga sering melihat sekelompok burung gereja itu di pagi hari.

Tidak heran bila Appa menyayangi burung-burung itu. Melihatnya saja, hati bisa tersenyum sendiri, ujar Yi-Hui dalam hati.

“Appa, besok pagi saya akan mengajak Appa ke depan untuk melihat burung-burung itu.” Ajakan anaknya dijawab Paman Chan dengan anggukan lemah.

Seperti yang telah dijanjikan, Yi-Hui mendorong Paman Chan yang duduk di kursi roda menuju teras depan. Namun, perkarangan masih kosong.

“Tidak terlihat burung-burungnya,” ujar Yi-Hui.

“Sebentar lagi, kita tunggu saja!” jawab Paman Chan.

Benar saja, tidak lama kemudian burung-burung itu datang dan bermain di pekarangan.

“Mereka teman-teman Appa,” ujar Paman Chan

“Ya, saya juga suka melihatnya,” kata Yi Hui.

“Jika nanti Appa tidak ada, jagalah rumah ini, Biarkan tetap asri agar burung-burung itu memiliki tempat untuk bermain,” pesan Paman Chan dengan tatapannya yang semakin jauh. Namun, Yi-Hui tidak menjawab. Kesedihan menyapanya.

Pagi itu ternyata adalah pagi terakhir bagi Paman Chan. Malam saat ia kembali duduk di teras bersama Yi-Hui, Paman Chan meninggal dunia. Paman Chan yang dikenal ramah, menyayangi anak-anak, dan menyayangi burung-burung, akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Meski berbeda keyakinan, tetapi banyak tetangga yang bersedih dengan kepergian Paman Chan. Di hari Paman Chan akan dimakamkan, burung-burung gereja yang biasa menjadi temannya seolah-olah ikut kehilangan. Tidak ada tarian mereka saat bermain dan tidak ada suara cicitan merdu.

(Terinspirasi saat melihat burung-burung gereja yang sering bermain pekarangan rumahku)

BIODATA SINGKAT PENULIS

TENGKU AISYAH Fachriah, anak pertama dari Ayah Tengku Fachrul dan Bunda Ria Astika Sari, lahir di Pekanbaru, 11 April 2013 dan saat ini duduk di kelas 6 SD Muhammadiyah 019 Bangkinang Kota. Cita-citanya adalah menjadi dokter anak. Aisyah sangat senang membaca dan juga menceritakan kembali isi sebuah bacaan. Aisyah beberapa kali mengikuti program menulis dan mendongeng, dan telah ikut menerbitkan beberapa karyanya dalam buku antologi. Cerita pendek pertamanya yang berjudul Adzkia Ramadhan Berkah Ramadhan Smile dimuat dalam antologi Cerita Islami yang diterbitkan oleh Jejak Pustaka pada tahun 2022. Cerita pendek keduanya yang berjudul Hiking Pertamaku di SD Muhammadiyah 019 Bangkinang diterbitkan oleh Jendela Puspita pada Februari 2023, dan sebuah buku cerita bergambar karya Aisyah yang berjudul Keseruan ke Perpustakaan Daerah Kampar dicetak dan di publikasikan oleh Buku.Club pada 2024. Selain menulis sebuah antologi cerita pendek Aisyah juga ingin menulis buku Dongeng karyanya.

Keranjang belanja

No products in the cart.

Return to shop

Salmah Publishing

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu