Akhir Cerita Wisnu

Akhir Cerita Wisnu

3 Dilihat

  • Description
  • Reviews (0)
  • Description
    Category

    Genre: Cerpen
    Penulis: Harry Zardi
    Desain Sampul: Nur Afandi
    Penata Letak: Abiel
    Penerbit: Salmah Publishing
    ISBN: –
    Cetakan pertama, Juni 2025
    viii + 200 hlm. 14.8 x 21 cm

    Menggamit Kenangan

    Kenangan adalah jendela. Kadang terbuka perlahan dengan cahaya yang hangat menyelinap masuk, membasuh luka yang telah lama membeku. Kadang pula ia terbuka secara tiba-tiba, menerbangkan debu-debu masa silam yang menyayat kalbu. Tidak semua kenangan layak terlaludiusik, tapi beberapa di antaranya terlalu indah untuk dilupakan, dan menyakitkan untuk diulang.

    Hatiku bukan batu, meski pernah mengeras karena luka. Ia juga bukan kain cindai yang lembut dan indah, meski pernah kutenun dari harapan dan air mata. Di antara dua kutub itu, aku berdiri sebagai manusia yang mencoba memahami mengapa cinta harus hadir, lalu pergi, meninggalkan jejak yang tak pernah benar-benar pudar.
    Aku menyusun kembali kisah ini dari serpihan kenangan yang tercecer. Aku satukan mereka dalam baris-baris aksara. Bukan untuk mengungkit luka, tapi agar ada yang mengingat bahwa di suatu masa, aku pernah hidup sepenuh rasa. “Bahwa kita pernah ada”.

    Namaku Wisnu. Berusia tiga puluh lima tahun. Tinggiku 184 sentimeter, dan tubuhku sedikit berisi. Aku gemar bereksperimen dengan penampilan. Rambutku kerap berganti warna, seperti musim yang selalu berubah, mencerminkan suasana hati. Sebagian orang menyebutku eksentrik. Tapi bagiku, gaya adalah bentuk kebebasan yang tak perlu diperdebatkan.

    Aku lahir di ujung barat negeri ini, di sebuah pulau kecil bernama Bengkalis, Negeri Junjungan di Provinsi Riau. Pulau itu dikelilingi laut, dengan debur ombak yang lembut dan angin yang membawa aroma asin dari samudera. Di sanalah aku membuka mata, belajar mengenal dunia, dan menanam akar dalam budaya dan tradisi Melayu yang kental.

    Orang tuaku adalah pegawai negeri sipil. Aku anak lelaki satu-satunya, diapit oleh seorang kakak perempuan dan adik yang manis. Dalam keluarga kami, seni bukan sekadar hobi ia adalah napas. Ayahku menyukai puisi dan lagu-lagu lama. Ibuku pandai menari zapin dan menyulam. Aku tumbuh dalam irama dan gerak, dalam bait dan warna.

    Masa kecilku biasa saja, namun tidak pernah benar-benar membosankan. Aku menghabiskan waktu dengan belajar, bermain, dan tentu saja berlatih tari zapin bersama teman-teman dan sepupuku. Ada satu kisah yang tak akan pernah pudar dalam ingatanku, tentang malam ketika kami harus melewati rumah tua yang konon angker.
    Rumah itu terletak di ujung jalan, tua dan dipenuhi semak. Menurut cerita orang-orang, di sana dulu pernah terjadi hal-hal mengerikan. Malam itu, hanya aku dan sepupuku yang tertinggal dari rombongan. Dengan sepeda kami yang berbunyi ringkih, kami mendekati rumah itu.

    “Kamu cium bau sesuatu nggak?” bisikku.
    “Iya…wangi sekali baunya, seperti bau bunga kamboja.” balas sepupuku menambah rasa takut di hati kami.
    “Jangan-jangan…”
    “Sudahlah, jangan dipikirkan. Kita cepat saja.” Suara sepupuku setengah ketakutan.

    Jantungku berdegup kencang. Sepedaku kukayuh secepat mungkin. Sepupuku memeluk pinggangku erat-erat. Aku menutup mata, berharap kami segera melewati rumah itu. Tapi takdir berkata lain. Brak! Kami menabrak pohon kelapa dan terjatuh bersama.
    Malam itu, aku menangis. Bukan karena sakit, tapi karena takut. Dan dalam rasa takut itu, aku menemukan keberanian yang baru bahwa dalam hidup, kadang kita harus menabrak pohon untuk tahu bagaimana cara berdiri lagi.

    Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah ke kota Pekanbaru. Kota itu menjadi ladang baru tempat aku menabur mimpi. Di sanalah aku mulai lebih serius di dunia seni. Aku ikut berbagai lomba menyanyi, berteater, membuat koreografi, dan bergabung dengan sanggar kampus. Lambat laun, aku dikenal. Bukan karena kehebatanku, tapi karena konsistensiku.

    Namun, di balik segala kesibukan itu, ada kekosongan yang tak bisa kuisi dengan tepuk tangan dan lampu panggung, itu adalah cinta.

    Aku bukan tipe yang mudah jatuh hati. Bukan karena tak bisa, tapi karena aku tahu luka itu seperti pelukis, ia selalu meninggalkan warna. Aku pernah jatuh cinta dalam event mahasiswa nasional, kepada seorang gadis Bugis. Dia cantik, cerdas, dan penuh semangat. Namun perbedaan visi dan tujuan memisahkan kami. Cinta kami redup dalam diam.

    Aku mencoba lagi, kali ini dengan adik tingkat. Dan di sinilah aku benar-benar jatuh, bukan hanya cinta, tapi juga ke dalam luka. Dihianati adalah satu hal yang tak pernah kubayangkan. Dan, itu kualami. Tapi hidup mengajariku bahwa kepercayaan bisa pecah seperti kaca, dan serpihannya bisa melukai lebih dalam dari yang kau kira.

    Sejak itu, aku tutup hati. Aku katakan pada diriku “cukup”.
    Setelah lulus, aku bekerja di sebuah stasiun radio. Menjadi penyiar membuatku dekat dengan banyak cerita orang lain, namun jauh dari cerita cintaku sendiri. Meskipun bekerja, aku tetap aktif di dunia kesenian. Meski tak seaktif dulu, setiap kali aku menari atau menyanyi, aku merasa hidup kembali. Lalu, semesta mempertemukanku dengan Azlina.

    Dia wanita yang berbeda. Sederhana, anggun, dan lembut tutur katanya. Hanya dalam waktu tiga bulan kami memutuskan menikah. Bukan karena terburu-buru, tapi karena hati kami saling memahami. Azlina adalah wanita yang penuh pengertian, menghormati dan mencintaiku. Ia tidak pernah menuntut. Ia selalu ada, dan kehadirannya membuatku merasa utuh.

    Tapi, takdir kembali mencoret lukisan bahagia itu. Azlina jatuh sakit. Dan setelah pernikahan kami menginjak satu tahun, dua bulan delapan belas hari, dia pergi. Meninggalkan dunia, meninggalkan aku, dan membawa serta separuh jiwaku.
    Aku kembali hancur. Duka itu seperti badai malam yang tak punya pagi. Dan saat aku berusaha berdiri, seseorang dari masa lalu kembali muncul, bukan membawa bahagia, tapi luka baru. Saat itulah aku tahu cinta bukan untuk semua orang. Pun tidak lagi untukku.

    Kini, hari-hariku sunyi. Aku kembali sendiri. Antara Bengkalis dan Pekanbaru, aku mengisi waktu dengan bekerja, berkesenian, dan menolak rasa. Beberapa orang mencoba masuk, menawarkan hangatnya cinta, tapi aku menolak. Aku sudah terlalu lelah.

    Namun kadang, manusia bisa tumbang karena kata-katanya sendiri. Dan entah bagaimana, entah dari mana, sebuah cerita baru mulai tumbuh dari tanah yang telah lama kuanggap tandus. Dan dari sinilah kisah itu bermula.***

    Reviews (0)

    Reviews

    There are no reviews yet.

    Only logged in customers who have purchased this product may leave a review.

    Keranjang belanja

    No products in the cart.

    Return to shop

    Salmah Publishing

    Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

    Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu

    WhatsApp Form

    Silakan isi kolom dibawah ini untuk melakukan pemesanan produk.