Puisi I MZ. Billal I Riwayat Orang-Orang yang Menjaga Tidur Mereka di Sungai yang Merah
Riwayat Orang-Orang yang Menjaga Tidur Mereka di Sungai yang Merah
: Rengat berdarah
ialah hari terakhir kami, kini
tak akan diutus hari esok bagi kami lagi, kawan.
dan barangkali tak ada jua yang ‘kan sudi mengingat
kami pernah lahir, tumbuh tinggi, bahkan mati di sini.
namun sungguh tak apa. biar indragiri yang mengenang. biar indragiri yang merawat kenangan.
cukuplah kau jaga dan cintai tanah kelahiran ini
sepanjang usia, sampai sungai ini memeluk ruhmu yang syahidah. tanpa luka dan merah darah yang pecah dari kepala dan rongga dada.
***
05 januari 1949
di gubuk kayu kami yang beratap nipah
pagi yang hangat itu, sebelum kami terpisah selamanya
sembari menggusah resah yang tak biasa mak menuang terigu, gula merah, kayu manis, pandan dan kapulaga ke dalam belanga.
api yang memercik dari tungku menyapa tarian angin dari tepian sungai, membelai tangan keriputnya yang telah sangat mahir mencampur tepung dan rempah jadi asidah yang nikmat sejak lama di lidah para raja
seperti nenek buyut kami yang sukacita mengabdi pada istana.
sungguhlah indah masa-masa menatap senyum mak rekah di antara lipatan sinar surya di sepanjang jalan menuju pasar rakyat kota rengat yang bertuah.
kaki menggiring harapan dan pelukannya merengkuh impian
tutur katanya pun lebih manis dari senampan kue yang ia bawa di kepala.
“bujang, kuat dan beranilah engkau seperti ayah dan para tentara pembela negara. yang tak ingin masa depannya dirampas, yang tak ingin kasih sayangnya diperas.” demikian mak berkata ketika memandang kegagahan banteng sumatera menyusuri jalanan kota rengat
namun sayang seribu kali sayang, kawan
tak sempat menuai harapan dan impian yang dirapal mak pada pagi yang kami kira damai itu
sepasang pesawat bercocor merah dan berpanji triwarna: merah, putih, dan biru melesat di langit menjatuhkan benda-benda aneh
yang setelah benda itu mendarat barulah kami tahu benda-benda asing apa yang terjun bebas di udara.
ya! sebab sedetik benda itu menghantam tanah, kota rengat lululantak. orang-orang terlempar, terluka, mati, berdarah-darah, meraung-raung, dan berlarian. termasuk kami yang pada akhirnya kehilangan genggaman hangat tangan mak kami.
mak o mak! mak o mak! tiada henti kami berteriak dalam sengguk tangis di antara asap memanggil-manggil ibu terkasih kami
namun tiada yang peduli sebab kini semua orang juga menangis dengan cara yang sama; berlari dan memeluk ratapan sendiri.
ya, kawan. rabu itu hari terkelam yang pernah diciptakan. semakin kelam tatkala kami yang masih tersisa di pertempuran
dihajar dan dipaksa menyaksikan kekejaman. memunguti tubuh-tubuh orang mati; saudara-sauadara kami, dan melemparkannya ke sungai indragiri
derita yang harus kami tanggung separah ini.
sampai kemudian tiba juga waktunya bagi kami melepas rasa sedih dengan cara paling berani; memandang langit biru tenang
ketika sebuah peluru menembus pusat kepala dan dada kami. lalu kami pun mati. dipaksa tidur abadi
kehilangan segala ingatan dan kenangan
dan berderai laksana jutaan kelopak bunga mawar yang menghalau bau amis dan ikut menjaga tidur orang-orang
di sungai pusaka yang merah. semerah darah suci kami.
***
lima januari seribu sembilan ratus empat puluh sembilan
ialah tanggal terakhir kami menetap di bumi melayu terkasih.
namun kami masih di sini. di antara keramaian dan kesepian sungai indragiri.
Indragiri Hulu, 30 September 2022
M.Z. BILLAL, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam beberapa kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Antologi Rantau Komunitas Negeri Poci (2020)), Antologi Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian (2021) dan telah tersebar di berbagai media seperti Pikiran Rakyat, Haluan Padang, Riau Pos, Fajar Makassar, Kedaulatan Rakyat, Radar Malang, Bangka Pos, ide.ide.id, biem.co, magrib.id, bacapetra.co dll. Bergabung dengan komunitas menulis Kelas Puisi Alit (Kepul) dan Genitri. Kumpulan puisi pertamanya sedang dalam proses terbit.