Puisi-Puisi I Dian Rahayu I Pada Akhirnya Kita Akan Memanen Musim di Dalam Kamar

Jarum Waktu
waktu menjatuhkan jarum ke kepalamu
kau terkejut
dan otakmu terburai
dan darahmu berserakan di lantai
dan dadamu menjadi lapangan
yang di sana tiba tiba sebatang ingatan tumbuh
mejalarkan akar ke dalam kenangan
kepalamu
pecah pada yang ingin kau lupa
pada yang telah kau kubur tentangnya
tapi kau tak bisa
karena waktu juga mengundang hujan
membasahi apa-apa yang seharusnya tak lagi menjadi luka
lalu jarum itu memecahkan kepalamu
menjadi serpihan
menjadi tangisan
menjadi makian
Pekanbaru, 30-1-2023
Pada Akhirnya Kita Akan Memanen Musim di Dalam Kamar
didatanginya dingin sebuah bar
dengan seloki arak
kaki kaki mengangkang menunggu
pelanggan melakukan pelelangan
perempuan perempuan musim dingin
berjejer di etalase
suaranya muram menawar tawar
jaketnya kusam tanpa warna
tinggal matanya yang hitam
mencari cari telaga
ia telah meminum air laut dan tetap kehausan
dalam malam malamnya yang pucat
di antara jejeran boneka
di dalam bar
di antara kaki kaki sempoyongan
tangannya menggamit jari yang
di telapaknya musim menjadi kekal
seperti seorang ibu
“aku akan menyusuimu di dalam kamar”
janjin suara ibu yang perempuan
matanya adalah telaga yang dalam
dan rambutnya kelabang
tempat jemari berpegang
angin menampar daun
jendela bergetar
sepi memeluk
menjadi selimut di atas ranjang
tua dan rapuh
“tolong kau tanam matahari di sini”
lelaki kesepian yang pulang berlayar menunjuk loteng
telapaknya tak lagi menggenggam musim
dingin berpindah ke dalam toilet
“kau haus?” suaranya kekal menanam benih
“tidak, aku hanya ingin pelukan ketika bermimpi”
lalu mereka tersenyum
lalu menanam matahari di langit
langit kamar
esoknya harapan tumbuh di dalam selimut
yang mereka panen sembilan bulan kemudian
Pekanbaru, 27-1-2023
Dan Kau-Dan Aku Akan Berumah Kekal
kita kembali ke sini
di mana langit menyimpan bara
di sakumu kutemukan sepucuk surat
merah muda
berwajah kekasih
yang mati ketika petang di serbu
kawanan gagak
mematuk kepala gapura pemakaman
kita adalah kegagalan
yang dikubur kesombongan
berwajah kanak kanak
di sakumu kutemukan
recehan dengan lagu lagu kesedihan
setiap kepingnya
berwajah ibu yang pemarah
kepalanya dipatuki hutang di warung
tetangga yang bermuka masam
kita kembali ke sini
di mana langit merah dipantulkan mata
ayah sewarna darah
ketika menemukan jarimu
berbau tembakau sepulang sekolah
kemejamu asin
laut berkumpul di keningmu
menjadi buku yang kelak dibaca anak anak
yang kau tumbuhkan di jantungmu sendiri
kita adalah kegagalan
dikubur lalu mencoba bangkit
langit semburat merah memantul di matamu
kutemukan kitab pernikahan
di celanamu
dan suara riang bocah
bocah bermain
meminta payudaraku terbuka
kelak mereka akan tumbuh
memakan kehidupan
menangisi kehilangan
dan kau
dan aku
akan berumah kekal
disambangi kawanan gagak
jelang malam
Pekanbaru, 3-2-2023
Sebagai Yang Terbebani
“aku belum pernah mati” katamu ketika bulan kulihat dari jendela
tengah mati ditusuk runcing daun cemara
lalu kita bercerita tentang segala gala
tentang mimpi
tentang kopi
tentang tawa
tentang perutmu yang kini seperti bola
tentang gambar dan kamera
dan juga tentang harga harga
“kau mau menjual diri?” tawarku suatu kali
“kau mau beli berapa?” tawamu pecah
lalu bulan kulihat kembali
hidup di matamu
bernapas di kata kata yang bertebaran di udara
(malam terlalu dinginjangan ke mana mana hidupkan saja unggun dalam percakapan kita)
“kau ingin tahu rasanya mati?”
tanyaku sebelum mematikan data
karena seringkali aku bunuh diri di dalam kepala
kau ingin tahu rasanya?
mati lalu hidup kembali
sebagai yang terbebani
Pekanbaru, 24 Juli 2022
Suatu Ketika di Lokalisasi
di kepalaku tuhan tumbuh dan membesar
suara suara doa melengking membentur pikiran
menjelma gonggongan dari sebuah gorong gorong
digali oleh jari jari
tak tampak pada suatu masa, di sebuah surga
bernama politisasi
dan tuhan mengangguk angguk seolah mengerti
tuhan kini tengah tertidur, bisik suara lain menyelinap
diam diam merampas suara tuhan
yang terbiasa mengisi sunyiku
neraka menjadi begitu terlihat dari sini!
pekikku di dalam kepala
ketika langkah tiba di sebuah lokalisasi yang kabarnya telah tutup,
tetapi masih membuka pintu di dini hari itu
fajar berkabut
“tuhan tak singgah di tempat pelacuran”,
gumam seorang pramuria yang kusewa
“tetapi kalau kau berminat
mari kita merakit nafsu ke dalam surga”,
bisiknya lagi dengan napas berbau zina di telingaku
asam dan bernyawa
kulihat neraka menganga, tertawa
di matanya
tuhan mengerdil di kepalaku
ketika halimun menyelimuti pagi di
sebuah perkampungan
aku kehilangan doa yang senantiasa kubaca
tak lagi bisa kubedakan surga dan neraka
di sini
“kita bebas merakit hasrat dan keinginan
dosa dan pahala tak lagi bisa ditimbang kadarnya”,
kata seorang tamu
yang memangku moral di pahanya
“di lokalisasi,
tak pandai berpuisi kau bisa mati”,
katanya lagi
dan moral terkikik geli digerayangi mimpi
dan tuhan pura pura tuli
sibuk mempolitisasi
Pekanbaru, 19082021
Dian Rahayu merupakan penyuka pun penulis puisi dan cerpen. Ia belajar secara otodidak. Beberapa tulisannya telah dibukukan dalam beberapa buku antologi puisi dan cerpen. Beralamat di kota Pekanbaru – Riau. Dia aktif di media sosial Facebook (Dian Rahayu/akun) dan Instagram (dian.rahayu.184881)