PUKAU PETUAH

PUKAU PETUAH
Penulis: Sri Raberty Fri Strya (Hening Wicara)
jumlah Halaman
Ukuran 14 x 21 cm
Harga : Rp 65,000.
Nomor Pemesanan : 085299072296

***

PETUAH PENYAIR WANITA

Oleh : Husnu Abadi

(1)

Pada Tahun 2015 di Malaysia terjadi perbincangan di ranah pblik, termasuk di halaman sastra budaya harian Utusan Melayu, berkenaan dengan anugerah  sastrawan  negara (SN). Hal diperbincangkan adalah mengapa sampai kali ke 12, anugerah ini hanya diterima oleh sastrawan laki-laki saja dan sama sekali tidak ada yang mempertimbangkan sastrawan wanita. Apakah hanya sastrawan laki-laki saja yang produktif dan kreatif dalam melahirkan karya-karya sastra? Dimanakah posisi sastrawan wanita. Begitulah perbincangan itu bergelora dan gemuruh.

Seperti diketahui, sejak Tahun 1981, ketika Tun Hussein Onn menjabat Perdana Menteri, Malaysia memberikan anugerah Sastrawan Negara, kepada sastrawan yang menghasilkan karya yang bermutu dan mengangkat marwah negeri,  Anugerah ini memang tidak diadakan  setiap tahun, namun secara rutin selalu  diberikan.  Penerima anaugerah, dipilih oleh sebuah panel yang terdiri dari Urussetia Panel Anugrah Sastra Negara, yanag diukung oleh Dewan Bahasa dan Pustaka,  di bawah  penyeliaan Kementerian Pelajran Malaysia. Awalnya setiap penerima anugerah diberikan hadiah RM 30.000  dan pelbagai kemudahan, dan kini hadiah dinaikkan menjadi RM 60.000 ditambah kemdahan untuk menerbitkan karya sampai senilai RM 500.000.

Adapun para penerimanya sampai yang kali yang ke 12  adalah Dr. Kamaluddin Muhammad atau Keris Mas (1981),  Prof Dato Dr Shahnon Ahmad (1982),  Dr. Usman Awang (1983), Dr. A. Samad Said (1985), Dr. M. Dahlan Abdul Biang atau Arena Wati (1987),  Prof. Dr. M. Haji Salleh (1991), Dato Noordin Hasan (1993), Datuk Abdullah Hussain (1996),  Prof. Madya Dr. Syed Othman Syed Omar atau Syed Othman Kelantan (2003), Dr. Anwar Ridhwan (2009),Dr. Ahmad Kamal Abdullah atau Kemala (2011), Baha Zain (2013),

Setelah adanya perbincangan publik soal posisi sastrawan wanita dalam pemajuan sastra nasional Malaysia, akhirnya Panel mengumumkan untuk pertama kalinya pada 13 Oktober 2015,  sastrawan wanita Dr. Zurinah Hasan (66 tahun, lahir 13 Juni 1949, di Bakar Bata, Alor`Setar, Kedah). sebagai penerima anugerah sastrawan Negara. Karyanya antara lain berupa puisi, cerpen, novel, memoar. Diantaranya adalah Menghadap Pelabuhan (2010), Pesanan dari Gunung Ledang (2004, puisi), Memoir Zurinah Hasan:

Menjejak Puisi  (2003),  Salasilah: Kumpulan Puisi (2005). Pada Tahun 2019, kembali Panel memberikan anugerah SN kepada sastrawan wanita Siti Zainon Ismail.(lahir 18 Desember 1949, 70 tahun)

Sengaja saya mengawali perbincangan ini dari perkembangan sastra di Malaysia. Sekarang saya kembali ke negeri Melayu Riau. Pada Tahun 2019, perbincangan serupa juga muncul. ketika Yayasan Sagang mengumumkan bahwa Tahun 2019 ini, juga akan memilih Sastrawan Budayawan Sagang (SS).  Mengapa sampai kali ke 22, yayasan Sagang tidak ada memberikan penghargaan kepada sastrawan atau budayawan wanita , padahal anugreah ini sudah dimulai dari tahun 1996. Dimanakah sastrawan wanita itu berada ?  Patut diketahui, sampai tahun 2017, Anugerah Sagang setiap tahun tanpa kecuali, secara terus menerus selalu dilaksanakan dan anugerah ini selalu ditunggu-tunggu oleh publik khususnya publik seniman. Lagi pula Anugerah ini terdapat beberapa kategori yaitu sastrawan budayawan Sagang (Utama), buku terbaik, karya non buku terbaik, liputan pers terbaik, penelitian budaya terbaik, sastrawan serantau, institusi terbaik. Diluar kategori utama, karya-karya dari kalangan wanita  telah banyak terpilih untuk menerima anugerah.  Misalnya buku puisi terbaik Sunting (karya Kunni Masrohanti, 2011).

Seperti bisa dilacak, anugerah Sagang untuk kategori Sastrawan Budayawan Sagang (SS) diterima oleh Idrus Tintin (1966),  Tenas Effendi, Ediruslan Pe Amanriza, Hasan Junus, Sulaiaman Syafii, Dantje S. Moeis (2001), Sudrano Mahjudin, Taufik Ikram Jamil, Al Azhar, Yusmar Yusuf, Iwan Irawan Permadi (2006), UU Hamidy, Fakhrunnas MA Jabbar, Zuarman Ahmad, Eddy Ahmad RM, Marhalim Zaini (2011), GP Ade Darmawi, Suwardi MS, Hang Kafrawi, Husnu Abadi, Armawi KH (2016), Junaidi Syam (2017).

Setelah menunggu disertai dialog hangat di sejumlah  media sosial, soal siapa yang akan memenangi Anugerah Sagang, serta isu perempuan kembali mencuat, bahkan ada yang menulis, kalau masih juga diskriminatif maka sebaiknya anugerah ini dibubarkan saja. Akhirnya penerimanya diumumkan juga.  Hadiah akan diserahkan pada sebuah acara di Gedung Daerah Balai Serindit dan dihadiri langsung oleh Gubernur Riau.  Pemenangnya adalah seorang sastrawan wanita, aktifis kesenian dan penyuka pendaki gunung, Kunni Masrohanti. Wartawan Riau Pos dan lulusan sarjana bahasa Arab UIN Suska ini, memecahkan rekor Sagang. Boleh jadi nuansa angerah Sastrawan Negara di Malaysia, punya efek domino juga pada proses pemilihan anugerah Sagang Tahun 2019. Sayang di sayang, setelah Tahun 2019, anugerah ini tidak diadakan lagi, berkenaan perkembangan yang ada pada koran harian  Riau Pos tempat Yayasan Sagang berinduk.

(2)

Kini pembicaraan dikhususkan ke kondisi yang menarik dikawasan Riau. Adalah julukan yang diberikan pada Riau, oleh seorang wartawan atas laporannya di Majalah TEMPO, Amarzan Lubis, dengan nama Negeri Sahibul Kitab, tidaklah terlalu berlebihan. Hal ini karena tradisi menulis yang telah dimulai sejak masa lalu, terus mengalir hingga kini.. Siapapun yang datang ke negeri ini, akan merasakan betapa pena adalah keseharian yang dapat dibaca., diraba, dan menjadi napas keseharian.

Sejak sastrawan dan ahli bahasa Raja Ali Haji, kemudian ke Suman Hs, Hasan Junus bahkan sampai ke generasi 2000, terpukau pada dunia kepenulisan. Kalaulah  tongkat estafet itu terus menerus berpindah tangan, maka  penulis  angkatan 1980 telah di ujung masa dan penulis angkatan  2000 dan 2010 sedang mekar-mekarnya. Mereka terus menerus menulis, termasuk mengikuti perubahan zaman saat ini, di mana media sosial serta media on line, tetap memberikan peluang untuk mengusung karya-karya sastra mereka.

Salah satu dari mereka, adalah berasal dari  kelompok penulis wanita, dan diantaranya adalah Hening Wicara. Kiprahnya dalam dunia sastra memang telah belasan tahun dan aktif mengikuti  berbagai kegiatan sastra. Berbagai antologi puisi ia ikuti dan dari tahun ke tahun terlihat perkembangannya menuju kematangan. Awal Juli ini ia mengikuti program Wisata Puisi Turki, yang diorganisir oleh Perruas asuhan Asrizal Nur. Programnya adalah baca puisi di beberapa obyek wisata Turki (Istambul, Ephesus, Kusadasi, Pamukkale, Capadokia, Ankara, Toz Golu, Konya)  serta Baca Puisi dia atas Cruise  Selat Bosporus. Kehadiran buku puisinya berjudul Pukau Petuah, yang memuat 20 puluhan puisi, tentu aja wajar  disambut gembira. Paling tidak khafilah penulis Riau, terus menerus lahir dan berkembang, tak kenal musim hujan ataupun musim kemarau.

Judul puisinya beragam dan penuh warna.  Tapi jangan harap darinya ada puisi kepalan tinju untuk misalnya melawan rezim yang sedang berkuasa seperti misalnya puisi-puisi pamflet WS Rendra ataupun Taufiq Ismail. Hening, seperti namanya, berusaha untuk sementara ini, bersuara  tenang dan menghindari kegelisahan. Mungkin juga ia masih sibuk dengan kehidupan domestik dan kehidupan pribadinya. Coba tengok judul-judul puisinya:

Pulang,  Selepas Ia Pergi, Langit Aneka Warna,

Kepadamu Yang Pergi, Menatap Lelapnya, 16 Oktober, Pertanyaan Cinta, Ziarah Senja, Pijitan Terakhir, Sang Bintang, Dari Sayu Matamu, Sambalado, Tanda Tangan, Menjaga Air Muka, Cuci darah, Celah Selebar Jari, Jam Besuk, Luput Dari Pandangan, Kucing Kesayangan, Unit Gawat Darurat,    

Seperti banyak penulis wanita, Hening pun tak bisa menghindari diri dari kehidupannya sebagai wanita. Sebagian letupan hatinya diwujudkan dalam narasi puisi.  Saya ingin mencoba mengutipnya seperti ini.

 Matahari belum datang/ ketika ia dijemput pulang/ aku melaju dalam lengang me remang/ menyusuri jalan=jalan bercabang/ seperti pikiranku yang tak bisa kularang/ membayangkan hal-hal yang menegangkan/ tentangnya

Bagaimanapun, lahirnya sebuah karya, apalagi itu kumpulan puisi, akan menandakan hadirnya sebuah titik yang nantinya akan bermetamorfosa menjadi garis. Puisimu, menandakan kehadiranmu. Atau kalau meminjam kata Presiden Penyair Perempuan Kunni Masrohanti……..  Salam Puisi Bertubi-tubi.  

Bagaimanapun, lahirnya sebuah karya, apalagi itu kumpulan puisi, akan menandakan hadirnya sebuah titik yang nantinya akan bermetamorfosa menjadi garis. Puisimu, menandakan kehadiranmu. Atau kalau meminjam kata Presiden Penyair Perempuan Kunni Masrohanti……..  Salam Puisi Bertubi-tubi.  

 Satu Negeri, Beribu Puisi

Satu Puisi, Satu Negeri

 Pekanbaru, Agustus 2023

HUSNU ABADI adalah penerima Anugerah Sagang /Sastrawan Budayawan Sagang (2015), menulis antologi puisi Lautan Taj Mahal (2022) yang merupakan antologi yang ke 6. Termasuk pendiri Perhimpunan SATUPENA (2017) serta Deklarator Hari Puisi Indonesia (2012). Kini  berkhidmat sebagai pensyarah pada  UIR Pekanbaru.


 

 

 

Keranjang belanja

No products in the cart.

Return to shop

Salmah Publishing

Selamat datang di Toko Kami. Kami siap membantu semua kebutuhan Anda

Selamat datang, ada yang bisa Saya bantu